Biografi Tjipto Mangoenkoesoemo

Tjipto Mangoenkoesoemo atau Cipto Mangunkusumo (4 Maret 1886 di Pecangakan, Ambarawa , Semarang – 8 Maret 1943 di Batavia ) adalah seorang pemimpin kemerdekaan Indonesia yang terkemuka dan mentor politik Sukarno . Bersama Ernest Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat ia adalah salah satu dari tiga pendiri Partai Indische yang berpengaruh , sebuah partai politik yang menyebarkan gagasan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda . Setelah partai tersebut dicap subversif oleh pengadilan kolonial pada tahun 1913, ia dan rekan-rekan pemimpin IP diasingkan ke Belanda ..

Tjipto menganjurkan nasionalisme berbasis Hindia daripada nasionalisme Jawa. Tidak seperti pemimpin nasionalis Jawa lainnya, kepercayaan Tjipto pada demokrasi tetap kuat sampai akhir hayatnya dan dalam pandangannya karakter tradisional peradaban Jawa feodal harus diubah. Dia menganggap pendidikan barat dan dislokasi sosial dan budaya berikutnya sangat diperlukan dalam menciptakan suasana revolusioner. Dia tidak setuju dengan Budi Utomo. Penekanan pada kebangkitan kembali peradaban tradisional Jawa. Dalam sebuah debat tahun 1916 ia menyatakan: “Psikologi orang Jawa perlu diubah sedemikian rupa sehingga perubahan bahasa, atau lebih sinis pembunuhan bahasa menjadi mendesak. Hanya dengan cara ini akan mungkin untuk membangun yang lain. bahasa di reruntuhannya dan juga peradaban lain.”

Ernest Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, and Suryadi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantoro)
Ernest Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, and Suryadi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantoro)

Tjipto menikah dengan istrinya yang Indo (Eurasia) Marie Vogel pada tahun 1920.

Ketika ketiga pemimpin IP itu kembali ke Hindia Belanda, kedua rekannya akhirnya menempuh jalur pendidikan, sedangkan Tjipto tetap aktif secara politik. Setelah pengasingannya ia terlibat dalam Partai Politik Insulinde yang berubah menjadi ” Partai Indische Nasional ” yang baru dimana ia menjadi salah satu pemimpin dan wakilnya di Majelis Rakyat ( Volksraad ).

Ketika Sukarno, calon Presiden Indonesia, pindah ke Bandung , ia secara bertahap terasing dari mentor politik pertamanya dan ayah mertuanya Tjokroaminoto (pemimpin Sarekat Islam ). Tjipto kemudian menjadi mentor politik utamanya dan mengubahnya menjadi nasionalis radikal yang percaya diri.

“Dalam beberapa hal hubungan dekat antara Cipto dan Sukarno ini tidak mengejutkan; keduanya adalah orang yang sangat cerdas dan sangat peka terhadap realitas situasi kolonial, ketidakadilan yang mereka anggap sebagai penghinaan pribadi.”

Kedua pria itu adalah pejuang kemerdekaan yang tak kenal lelah dan tak kenal kompromi, yang mengaku sangat prihatin dengan nasib petani miskin. Namun tidak seperti murid politiknya, tindakan Tjipto yang sering kali berani menunjukkan rekam jejak yang terbukti secara praktis memperbaiki kesulitan sosial petani. Sejak tahun 1910 Tjipto telah mengabdikan jasanya yang tak kenal lelah kepada masyarakat Jawa selama wabah penyakit mewabah . Atas usahanya itu ia dianugerahi gelar kerajaan dalam Ordo Oranye-Nassau , oleh pemerintah kolonial.

Setelah NIP terlibat dalam aksi mogok tani di Jawa Tengah, partai tersebut dilarang. Tjipto ikut mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI), yang diketuai oleh Sukarno. Segera setelah itu ia berusaha untuk mengobarkan pemberontakan di antara orang-orang Indonesia yang bertugas di KNIL dan diasingkan lagi pada tahun 1927, kali ini ke Banda . Di Banda ia kemudian bergabung dengan revolusioner terkemuka lainnya seperti Hatta dan Sjahrir . Namun, selama 11 tahun pengasingannya, ia tidak dapat melanjutkan aktivitas politik yang signifikan.

Ia meninggal pada tahun 1943 dan dimakamkan di Ambarawa.

Setelah kemerdekaan Indonesia ‘Burgerlijke Ziekeninrichting Salemba’ berganti nama menjadi ‘Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo’.