Akbar Tanjung: Anak Muda Jangan Meminta Menjadi Pemimpin

Akbar Tanjung bisa jadi adalah tokoh fenomenal.Pria kelahiran Sibolga, Medan ini dikenal sebagai tokoh yang cepat melejit sedari masa mudanya.Ketokohannya dibangun melintasi tiga zaman perubahan, dari masa orde lama, orde baru dan reformasi. Manis pahitnya menjadi aktivis gerakan mahasiswa serta pergulatannya dalam kancah politik nasional telah mematangkan dirinya sehingga dikenal piawai dalam memimpin maupun berpolitik.

“Kepemimpinan itu harus diuji. Diuji melalui pengalaman dalam organisasi, pengalaman juga dalam politik, lalu baru untuk jabatan-jabatan puncak”, ujarnya. Mantan ketua umum PB HMI tahun ini dikenal sebagai pribadi yang tenang, stabil secara emosi, namun cermat sekaligus tajam dalam berkalkulasi. Berbagai posisi dan jabatan dengan konsekuensi konflik, benturan, kritik bahkan cacian yang mengiringi, menjadikan mantan Ketua umum Partai Golkar ini matang secara politik sehingga disegani oleh kawan maupun lawan.

Bagi Bang Akbar, demikian ia akrab disapa, anak muda sekarang tidak pantas banyak menuntut untuk menjadi pemimpin. Soal kepemimpinan, menurut ia tidak perlu dipertentangkan antara yang tua dan yang muda. Baginya, tidak relevan membicarakan usia dalam politik. “Dan tidak perlu diekspos berlebih-lebihan seolah anak-anak muda itu meminta,” tegasnya.

Bagaimana pandangan Akbar Tanjung tentang keIndonesiaan, soal kepemimpinan kaum muda dan wacana islah HMI, HMINEWS.COM secara khusus mewawancarai di kantornya, di Akbar Tanjung Institute (ATI). Berikut petikan wawancara Akbar Tanjung dengan reporter HMINEWS.COM, Trisno Suhito dan Muhammad AS serta fotografer Ariwan D Hastoro.

Bagaimana pandangan Bang Akbar terhadap kondisi Indonesia sebagai bangsa sekarang ini?

Indonesia merupakan negara dan bangsa kita. Sebagai bagian dari Indonesia, bagaimana kita bisa memberi kontribusi terhadap pembangunan negara dan bangsa, sesuai dengan latar belakang kita, sesuai dengan potensi-potensi yang kita miliki. Sebagai bangsa, kita tentu memiliki tujuan berbangsa dan bernegara. Sebagai warga negara ya kita tentu turut serta mewujudkan tujuan itu. Khususnya tujuan mensejahterakan masyarakat dan juga tujuan mensejahterakan kehidupan bangsa.

Sebagai warga negara, kita juga mempunyai tanggung jawab moral mencermati apakah kelembagaan-kelembagaan negara kita itu sudah memperlihatkan komitmennya terhadap tujuan kita berbangsa dan bernegara. Kita juga mempunyai tanggung jawab moral mengkritisi seandainya ada langkah-langkah yang dilakukan kelembagaan negara itu tidak mendukung terhadap tercapainya tujuan kita berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks hari ini, kita memasuki suatu era baru, dimana telah melakukan banyak sekali perubahan-perubahan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Dalam bidang politik, ada perubahan dengan adanya partai-partai politik yang jumlahnya demikian banyak. Diharapkan, partai-partai politik itu bisa menjadi saluran aspirasi dan kepentingan rakyat Dan partai-partai itu juga mampu mengembangkan kehidupan demokrasi Indonesia dengan menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Partai-partai itu juga diharapkan turut serta mewujudkan tujuan nasional kita, khususnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyat.

Bahkan kita melihat pula reformasi yang kita lakukan sampai telah melakukan amandemen sebanyak empat kali. Amandemen pertama tahun 1999, amandemen kedua 2000, amandemen ketiga 2001 dan amandemen keempat 2002. Ini sebenarnya untuk mewujudkan tekad kita mengakomodasi berbagai aspirasi yang hidup dan berkembang di masyarakat. Sebagai konsekuensi dari reformasi dan konsekuensi tuntutan dan harapan yang semakin meningkat dari rakyat untuk dapat diakomodasi dalam UUD 1945, konstitusi kita.

Misalnya berkaitan dengan soal kebebasan, HAM, otonomi daerah, bagaimana mengelola kedaulatan negara kita. Bagaimana melaksanakan fungsi-fungsi kelembagaan negara kita. Bahkan UUD 45 kita juga membentuk lembaga-lembaga negara. Ada Dewan Perwakilan Daerah (DPD), ada Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagai wujud tekad betul-betul memperbaiki kehidupan kita, juga dibentuk komisi-komisi. Ada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menjamin Pemilu yang berlangsung umum, bebas dan jurdil. Dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai kongkritisasi tekad kita memberantas KKN. Ada juga Komisi Yudisial, Komisi Penyiaran dan berbagai komisi-komisi yang kita bangun.

Ada banyak kritik kita masih terjebak pada demokrasi prosedural, bukan demokrasi substansial setelah sepuluh tahun reformasi. Pendapat Bang Akbar?

Kalau menurut saya, kita tidak boleh mundur dalam rangka merealisasikan apa yang telah menjadi tekad kita dalam reformasi. Misalnya dalam demokrasi, prosedurnya memang sudah berjalan kita lakukan. Tapi memang kita masih mempunyai tugas yang tak kalah pentingnya bagaimana substansi demokrasi itu betul-betul terlihat dalam kehidupan kita bermasyarakat dengan demokrasi yang substansial.

Itu semuanya merupakan pelaksanaan daripada komitmen kita melakukan perubahan-perubahan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan berrnegara. Bahkan kita juga telah memasuki suatu tahap dimana para pemimpin-pemimpin bangsa kita dipilih secara langsung. Mulai dari presiden, gubernur, bupati, walikota dipilih secara langsung. Ini merupakan perkembangan yang sangat mendasar dalam kehidupan demokrasi kita. Tentu kita berkepentingan untuk mensukseskan apa yang telah kita sepakati dalam era reformasi ini. Sekaligus juga kita tidak ragu-ragu mengkritisi seandainya ada penyimpangan-penyimpangan dari apa yang dicita-citakan reformasi.

Kita sudah melakukan pemilihan presiden 2004. Kita juga akan memasuki pemilihan presiden 2009. Harapan kita akan berjalan dengan lancar, tertib, aman dan mampu melahirkan pemimpin yang terbaik. Kita juga telah memilih kepala daerah secara langsung. Bahkan terakhir ini telah ada perkembangan terbaru, perubahan lagi. Kepala-kepala daerah juga dimungkinkan calon-calon perorangan atau calon-calon independen sehingga basis rekruitmen calon-calon pemimpin terutama di daerah-daerah semakin luas. Tadinya merupakan hak eksklusif partai-partai politik, sekarang sudah rakyat secara langsung bisa mencalonkan tanpa melalui partai politik, sejauh orang itu mendapatkan dukungan sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang.

Pemilihan gubernur saya lihat sudah ada beberapa calon gubernur yang berasal dari independen. Misalnya di provinisi Lampung, kemudian juga calon bupati/walikota sudah ada calon-calon independen. Ini semua merupakan pengembangan dari sistem demokrasi kita. Di Aceh sudah berjalan lebih dahulu pemilihan gubernur secara langsung. Bahkan di Aceh itu yang terpilih adalah calon independen. Ini sekaligus juga menjadi tantangan bagi partai-partai politik. Dengan adanya calon-calon perorangan, maka rekruitmen kepemimpinan yang tadinya seolah-olah adalah hak eksklusif partai-partai politik sekarang bisa langsung tanpa melalui parpol.

Nah sekarang diuji mampu tidak partai politik menyiapkan calon-calon pemimpin yang lebih baik dibandingkan yang datang dari calon-calon perorangan. Seharusnya partai politik mampu karena memiliki salah satu fungsi yaitu fungsi kaderisasi kepemimpinan. Tentunya calon-calon yang melalui partai politik lebih terseleksi dan diharapkan juga lebih memahami masalah-masalah sosial dan politik.

Karena kepala daerah menurut saya mereka itu harus menguasai masalah-masalah politik. Nah ini menjadi tantangan tentunya dari partai politik. Menurut saya ke depan, partai politik harus terus menerus memperkuat kelembagaannya. Baik dari segi fisik infrastrukturnya maupun rekruitmen kader-kadernya. Dari segi visi dan misinya sehingga parpol itu betul-betul diakui rakyat sebagai wahana penyaluran aspirasi dan kepentingan mereka sehingga rakyat bisa memberikan dukungan terhadap kehadiran partai politik.

Seandainya ternyata rakyat melihat parpol tidak memberikan banyak nilai tambah dalam kehidupan mereka bisa saja rakyat mencari calon pemimpin yang bukan berasal dari parpol. Ini bisa terjadi proses deligitimasi terhadap parpol. Padahal kita semua berkepentingan parpol itu adalah kuat sehingga fokus dalam menjalankan fungsi-fungsinya.

Dan, karena parpol juga mempunyai peranan dalam rangka pengelolaan konflik, maka potensi konfliknya supaya kita bisa kelola dengan baik. Maka seharusnya parpol bisa mengarah dalam jumlah yang lebih sederhana. Dengan demikian mengelola konflik akan lebih mudah dengan jumlah yang lebih sederhana dibandingkan jumlah partai yang lebih banyak.

Di tengah peliknya persoalan bangsa, menurut Bang Akbar bagaimana peran kepemimpinan nasional untuk membawa bangsa ini keluar dari berbagai masalah?

Soal kepemimpinan menjadi sangat penting. Pemimpinlah yang akan membawa bangsa kita ke arah cita-cita sebagaimana yang diamanahkan the founding fathers. Untuk itulah kita memerlukan pemimpin yang punya visi. Visi yang kuat tentang kemajuan bangsa. Tentu juga kemampuan atau capabilityability dan kapasitas sebagai pemimpin. Tentu itu tidak bisa lepas dari pengalaman sebagai seorang pemimpin.

Dan karena pemimpin nasional memiliki jabatan puncak dalam kedudukan politik, maka pemimpin itu harus memahami masalah politik. Memahami bagaimana melaksanakan komunikasi politik, juga memahami bagaimana melakukan pendekatan-pendekatan politik. Karena ini menyangkut suatu tugas yang banyak berkaitan dengan kelembagaan-kelembagaan politik, dari masalah dengan DPR, partai-partai politik juga membutuhkan yang punya pengalaman politik cukup.

Selain itu, pemimpin itu yang memiliki integritas tinggi sehingga menjadi panutan karena integritasnya itu. Di atas semua itu pemimpin harus punya totalitas pengabdian yang betul-betul total untuk kepentingan bangsa dan negara. Dengan kata lain faktor kepemimpinan sangat menentukan arah keberhasilan bangsa kita. Pemimpin itu ya harus berani mengambil keputusan. Tidak ragu-ragu mengambil keputusan walaupun barangkali keputusan itu tidak menyenangkan. Tapi kalau itu yang terbaik bagi bangsa, orang itu tidak perlu ragu-ragu dalam mengambil keputusan.

Makanya pemimpin itu lebih baik mengambil keputusan. Jangan takut salah daripada sama sekali tidak mengambil keputusan, walaupun barangkali keputusan itu tidak menyenangkan. Karena memang kompleksitas permasalahan yang kita hadapi begitu banyak dan begitu besar. Suatu waktu, setiap waktu dari setiap permasalahan itu pemimpin harus memberikan arah dan mengambil keputusan.

Karena sistem kita demokrasi. Kita serahkan rakyat menilai siapa tokoh-tokoh yang ada. Baik yang incumbent maupun yang mempunyai keinginan untuk ikut seleksi kepemimpinan nasional dari figur-figur itu yang paling cocok untuk memimpin bangsa ke depan.

Muncul wacana kepemimpinan kaum muda menjelang Pemilu 2009 sebagai bentuk kekecewaan terhadap para pemimpin sekarang. Tanggapan Bang Akbar?

Soal kepemimpinan kaum muda menurut saya tidak perlu dipertentangkan, yang tua dan yang muda. Dan tidak perlu diekspos berlebih-lebihan seolah anak-anak muda itu meminta. Sebetulnya kepemimpinan itu khan juga harus diuji. Diuji melalui suatu pengalaman. Pengalaman dalam organisasi, pengalaman juga dalam politik, lalu untuk jabatan-jabatan puncak.

Jadi dalam politik itu tidak relevan kita berbicara usia tua muda. Politik itu sejauhmana orang itu sudah teruji. Dan sudah mengalami, memiliki pengalaman yang cukup. Bisa saja orang itu sebetulnya masih muda. Tapi memiliki pengalaman yang cukup dan orang itu saya kira patut untuk menjadi pemimpin nasional kita. Misalkan saja dalam konteks kita, ada mantan aktivis, dia menyelesaikan sekolahnya kemudian mengambil S2. Masuk dalam politik mungkin dalam usia 30-an dia sudah menjadi anggota Dewan. Lima tahun anggota Dewan, umur sampai 40-an sudah pernah menjadi anggota Dewan. Apalagi seandainya dia misalnya dua kali menjadi anggota Dewan sehingga pada waktu usianya 40-an dia sudah matang secara politik.

Orang ini saya pikir sudah bisa untuk ikut dalam seleksi kepemimpinan nasional. Apalagi seandainya, sudah duduk di anggota Dewan, pernah pula menjadi menteri misalnya, menambah pengalaman lagi. Orang-orang seperti ini kalau dilihat secara usia belum 50 tahun sudah matang secara politik. Oleh karena itu, saya sangat menganjurkan orang-orang muda masuklah dalam politik, masuklah partai politik, perkuatlah partai politik kemudian ikut proses seleksi di situ.

Nanti akan terpilih, teruji orang itu secara politik. Kemudian setelah orang itu lolos, sudah bisa dia untuk menduduki jabatan-jabatan pada tingkat nasional. Jadi itu saya kira yang paling baik dilakukan orang-orang muda. Tidak usah menuntut. Lakukanlah tujuan ke situ. Saya lihat baik, ada beberapa anggota-anggota DPR yang masih aktivis orang-orang muda yang punya prospek untuk ke depan menjadi pemimpin nasional kita.

Di DPR saya pikir pengalaman yang paling baik bagi seorang calon pemimpin bangsa karena di situ dia akan menggumuli berbagai persoalan-persoalan yang terkait dengan kehidupan kita. Kehidupan masyarakat, pemerintahan, kenegaraan akan banyak dibahas di DPR itu. Dengan dia menjadi anggota Dewan akan banyak pengetahuannya tentang masalah-masalah kenegaraan dan kebangsaan pasti akan relatif bertambah.

Kita mendengar Bang Akbar akan ikut bertarung maju dalam Pemilu 2009 mendatang?

Kalau saya sendiri berulang kali sudah saya katakan memang sudah ada niat. Ada keinginan untuk turut serta seleksi kepemimpinan nasional 2009. Dengan motivasi bagaimana saya bisa memberikan pengabdian saya pada bangsa dan negara dengan berbagai latar belakang yang saya miliki. Baik latar belakang organisasi, politik, pemerintahan dan latar belakang DPR.

Saya anggap itu merupakan bekal yang bisa saya gunakan untuk memberikan pengabdian terhadap bangsa dan negara. Jadi motivasinya tidak lain adalah motivasi mengabdi pada bangsa dan negara. Sebetulnya pada tahun 2004 yang lalu saya sudah pernah ikut dalam konvensi Partai Golkar. Tapi pada waktu itu yang memenangkan adalah Pak Wiranto dan kita terus memberikan dukungan pada beliau walaupun akhirnya tidak menang.

Tahun 2009 atau menjelang 2009 saya juga masih punya niat. Saya kira juga tidak lain daripada kelanjutan dari apa yang sudah pernah saya rintis tahun 2004. Tapi semuanya saya serahkan pada mekanisme yang mengatur mengenai rekrutimen kepemimpinan. Kalau melalui Partai Golkar harapannya Partai golkar bisa melakukan konvensi. Itu harapan saya karena melalui konvensi, peluang mengikuti proses rekruitmennya melalui Partai Golkar menjadi terbuka sebagaimana yang dilakukan tahun 2004.

Ini tentu harapan saya. Tentu saya akan mencermati perkembangan politik sampai 2009 yang akan datang. Kita tentu harus realistis juga melihat adanya peluang-peluangnya atau tidak. Itu akan dicermati dalam waktu-waktu yang akan datang ini.

Beralih ke soal HMI. Bagaimana tanggapan Bang Akbar Soal Islah HMI yang sempat diberitakan terjadi di Palembang kemarin?

Saya kira islah HMI momentumnya sudah didapat. Sudah kita peroleh momentum untuk islah dengan adanya kesepakatan antara tokoh-tokoh atau figur HMI. Dalam hal ini adalah saudara Fajar Zulkarnaen yang pada waktu itu menjadi ketua umum PB HMI dengan saudara Syahrul E Dasopang yang menjadi ketua umum MPO.

Dan itu sudah dideklarasikan di depan kongres yang dihadiri oleh banyak juga tokoh-tokoh nasional. Selain wakil presiden sendiri, kemudian gubernur dan para alumni. seperti kita-kita ini yang menyaksikan. Tinggal sekarang supaya bisa ditindaklanjuti segera islah itu. Untuk menindaklanjuti, barangkali PB yang sekarang ini bisa mengajak saudara Fajar untuk bisa membantu merealisasikan islah itu.

Dalam posisi sebagai apa? Ya mungkin mendampingi PB untuk menindaklanjuti islah itu dan kemudian tinggal dibicarakan teknis islah itu bagaimana. Tentunya pertama-tama dimatangkan dulu ke dalam masing-masing internal organisasi. Pada PB HMI yang dipimpin saudara Arif sekarang, pada MPO yang dipimpin saudara Syahrul. Setelah itu mereka matangkan. Kemudian dibicarakan apa yang disepakati.

Seharusnya tidak ada masalah karena apa yang menjadi penyebab kelahiran MPO dulu itu khan sekarang sudah tidak relevan. Terutama terkait dua asas sekarang sudah tidak relevan lagi. Oleh karena itu mestinya proses islahnya bisa lebih cepat dengan perkembangan-perkembangan baru ini. Tidak ada lagi yang terkait persoalan-persoalan, katakanlah ideologis. Tinggal soal-soal tentang bagaimana visi ke depan. Seharusnya visinya khan tidak ada perbedaan. Bagaimana program-programnya ke depan, perkaderannya ke depan. Mungkin ada beberapa kesepakatan-kesepakatan yang dicapai untuk bisa menjadi basis bagi pelaksanaan islah tadi itu.

Bentuk kongkritnya, bagaimana bisa membaur. Nanti bisa pengurus dimerger, dari orang MPO bisa bergabung orang-orangnya kepada PB (Pengurus Besar-Red) atau organisasi yang bernaung di bawah PB Diponegoro. Tinggal disepakati kedua belah pihak.

Bagaimana pandangan Abang sendiri terhadap HMI MPO? Ketika zaman perpecahan abang menjadi Menteri Pemuda dan Olah Raga yang menganggap HMI MPO illegal?

Sebetulnya kita juga tidak pernah secara eksplisit menyebut sebagai illegal. Cuma memang pada waktu itu, kita dalam rangka memperkokoh komitmen pada ideologi negara Pancasila, maka parpol-parpol juga tentu diddorong untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Organisasi kemasyarakatan pun tentu juga didorong, tapi tidak mengurangi keanekaragaman organisasi-organisasi kemasyarakatan kita yang berbasis sosial keagamaan.

Pada waktu itu, kondisi untuk membuktikan bahwa tidak ada keragu-raguan mengenai komitmen kita pada ideologi Pancasila, maka HMI pun menyatakan pernyataan komitmennya itu tanpa mengurangi keIslaman kita. Dalam prakteknya sedikitpun tidak berkurang keIslaman kita dengan adanya Pancasila itu.

Tapi saya kira sudah, sebaiknya kita melihat ke depan secara bersama-sama. Dengan adanya kita semua berbicara ke depan, harapan kita islah itu bisa diimplementasikan, ditindaklanjuti. Dan momentum ini saya kira harus diambil betul. Kalau tidak hilang lagi momentum ini. Menurut saya PB segera membentuk timnya. Mungkin dalam tim itu menempatkans saudara Fajar sebagai pendamping atau sebagai penasaihat dari tim itu.

Demikian pula dari pihak MPO juga membentuk tim. Ketua umumnya bisa ikut mendampinginya. Mungkin pada tahap awal diberikan kesempatan mengeluarkan apa saja. Bagaimana pandangan mereka tentang HMI. Bagaimana orang HMI MPO menilai HMI DIPO seperti apa. Orang DIPO juga bisa mengeluarkan pandangannya terhadap HMI MPO.

Kemudian bicara lagi bagiamana HMI ke depan. Dari situ nanti bisa ketemu ada hal-hal yang sama. Terhadap hal-hal yang sama itu ya kita catat saja sebagai suatu kesamaan. Nanti terhadap hal-hal yang belum sama coba didiskusikan. Apa yang menyebabkan tidak sama. Apakah ada sesuatu yang prinsipil. Kalau memang ada yang prinsipil coba kita endapkan. Tapi terhadap sesuatu yang tidak prinsipil ya kita catat-catat saja.

Mana yang sudah sama, mana yang belum sama. Nanti kita coba cari yang belum sama itu. Kita coba lakukan pendekatan-pendekatan. Mungkin dari pendekatan-pendekatan itu akan ketemu. Tentu sikap dasar kita apa yang menjadi raison d’etre, alasan berdirinya HMI. Saya kira kira di situ titik tolak kita.

Kalau kita lihat raison d’etre HMI, para pendiri-pendiri HMI, the founding fathers Lafran Pane dan kawan-kawan, melihat mahasiswa-mahasiswa Islam perlu diorganisir dalam suatu wadah untuk meningkatkan, katakanlah syiar Islam. Tapi tentu, selain itu karena HMI didirikan dalam suasana kemerdekaan, bagaimana kita harus memiliki komitmen dalam mengisi kemerdekaan sehingga nilai-nilai kebangsaan, keIndonesiaan dan keIslaman menyatu dalam HMI.

Dan ini harus juga menjadi titik tolak dalam melihat HMI ke depan. Kalau dari situ ada kesamaan saya kira tidak perlu ada dua HMI. Karena basisnya sama. HMI yang dari tahun 1947, pendirinya juga yang orang-orang itu. Dan kita tahu apa maksud mereka mendirikan HMI itu apa.

Harusnya tentu tidak ada perbedaan. Mestinya. Pastinya dua HMI itu merugikan. Dari citra tentu dianggap HMI tidak solid sehingga sebagai suatu organisasi. Kemudian dalam aktivitas, HMI juga tentu akan terpengaruh dengan adanya dua kelembagaan itu. Kadang kita menyaksikan ada gerakan-gerakan atau aksi-aksi mahasiswa, kita bingung ini HMI yang satu atau HMI MPO. Khan para senior-senior MPO pun juga sekarang sudah kembali untuk pentingnya satu. Alumni-alumni MPO kalau ada aktivitas KAHMI khan sebagai KAHMI saja, tidak sebagai KAHMI MPO. (Redaksi)