HMI Dahulu dan Kini

Kehidupan kampus tidak akan pernah lepas dari kesemarakan dan kedinamisan para mahasiswanya. Romantika, cinta, belajar, dan berorganisasi serta menyatakan pendapat adalah hal yang paling utama bagi para mahsiswa. Kurang lengkap rasanya predikaat mahasiswa, kalau romantika kehidupan berorganisasi tidak dikenyam. Lebih dari itu, kehidupan mahasiswa merupakan “kawah candradimuka” untuk kehidupan di masa yang akan datang.

Sebagaian kita banyak yang tidak tahu arti sebuah mahasiswa, mahasiswa merupakan dua kata yakni maha yang artinya besar dan siswa yang berarti murid atau pelajar, jadi mahasiswa adalah pelajar yang besar pemikiranya. Sebagai agent of changeagent of control peran yang besar bagi mahasiswa.

HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) merupakan organisasi kemahasiswaan yang cukup lama, didirikan oleh mahasiswa bernama Lafran Pane rekan-rekannya pada Rabu Pon 14 Rabiul Awal 1366 H atau bertepatan dengan 5 Febuari 1947 M di salah satu ruang kelas Sekolah Tinggi Islam (sekarang UII), Jogjakarta. Sejak berdirinya, HMI merupakan organisasi independen yang berbasis kemahasiswaan, yang mengutamakan kebebasan berfikir dan bertindak sesuai dengan hati nurani. Komitmen pada garis perjuangan Islam dalam bingkai keindonesiaan merupakan satu ciri idealisme yang selalu dipegang teguh oleh setiap kader HMI. Hal ini tercantum dalam tujuan awal HMI itu sendiri, yakni;

1. Mempertahankan Negara Kesatuan republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat indonesia
2. Menegakkan dan mengembangkan Agama Islam.

Lebih jauh dari itu sejarah telah mencatat, bahwa HMI sebagai wadah perjuangan bagi para mahasiswa, di Era tahun 50-an HMI ditandai dengan masa “Perkembangan dan Pendewasaan” masa masa ini disebut dengan Dis-Organized (Kekacauan Oraganisasi). Dengan diresmikannya Perguruan Gajah Mada menjadi UGM dan penyatuan kampus-kampus lain diintegrasikan ke dalam UGM. Dengan keadaan ini HMI mengalami kehilangan bebarapa Cabang di wilayahnya, kondisi kampus pun kurang kondusif karena kecenderungan mahasiswa kembali menggeluti dunia akademis (back to campus). Ditambah lagi dengan munculnya Organisasi onderbouw partai seperti GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) dibawah partai PNI, CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) dibawah partai PKI, dengan lahirnya organisasi-organisasi tersebut pergerakan mahasiswa tidak lahir dari pemikiran kritis mahasiswa dan independen, melainkan penerjemahan dari program-program partai induknya. Hal ini menjadi tantangan besar bagi HMI pada masa itu.

Di Era tahun 60 an HMI merupakan musuh utama PKI yang harus dilenyapkan setelah Masyumi, sebab golongan agama, dalam doktrin komunis, adalah kelompok yang kontra revolusi. PKI menuduh Masyumi (dan juga HMI) sebagai antek-anteknya Amerika yang berusaha menanamkan paham kapitalisme dan liberalisme bagi bangsa Indonesia. Tidak ada jalan lain bagi PKI, jika ingin menguasai Indonesia yang harus di hancurkan adalah kekuatan-kekuatan kaum beragama yaitu Masyumi dan juga HMI.

Kekukuhan HMI dalam membela Islam dan keterlibatannya dalam aksi pembasmian pemberontak PKI di Madiun bersama militer, cukup menjadi stimulus bagi PKI, oleh karena itu permusuhan antara HMI dan PKI/CGMI semakin menjadi setelah Nasakom diberlakukan oleh presiden Soekarno, dan HMI adalah organisasi yang menentang Nasakom. Terhitung dari Tahun 1964 aksi penggayangan HMI dengan berbagai tuduhan di lakukan oleh PKI lewat koran, majalah, aksi massa, dan forum-forum ilmiah bahkan menggunakan institusi perguruan tinggi untuk melarang aktifitas HMI. Sampai pada terbentuknya KAMI (kesatuan aksi mahasiswa Indonesia) dan menghasilkan TRITURA (tiga tuntutan rakyat) di antaranya adalah Bubarkan PKI, Retooling Kabinet, dan Turunkan Harga.

Di Era Orde baru HMI merupakan organisasi yang sangat disegani setelah kader-kader HMI bersama TNI AD telah menumbangkan Orde Lama. Setelah itu, Era Intelektual merupakan kebangkitan gerakan modern Islam yang terinspirasi dari, di antaranya, tokoh-tokoh Revolusi Iran, dan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Gerakan-gerakan ini mulai marak dan meluas di Indonesia, maka tak heran di Era awal 80 an ini, merupakan era Masjid Kampus. Dan di era ini lah pergolakan besar bagi internal HMI.

Ketakutan pemerintah pada masa itu, dan HMI merupakan ancaman bagi langgengnya orde baru. Hal ini dibuktikan dengan presiden Soeharto untuk mengantisipasi dan mengontrol kehidupan para kaum beragama, maka presiden mengeluarkan UU keormasan No 8 tahun 1985. Dalam rancangan Undang-undang ini disebutkan adanya kewajiban bagi setiap organisasi massa untuk memakai atau mencantumkan Pancasila sebagai Asaz organisasi (ideologi Organisasi). Hal ini jelas bertentangan dengan semangat kebhinnekaan yang menjadi ruh Pancasila itu sendiri. Dan akan menjadi hilangnya kebebasan warga negara untuk berbeda.

Walaupun demikian, kekuatan kekuasaan Orde Baru menjadikan organisasi massa seperti Muhammadiyah, NU, dan lain-lainya tidak bisa berbuat banyak, berbondong-bondong mereka merubah AD/ART mereka menjadi berasaskan Pancasila. HMI merupakan organisasi besar dan sangat berpengaruh pada masa itu menjadi sasaran, pemerintah menginginkan HMI menjadi pelopor dalam mendukung terlaksananya UU tersebut, maka disusunlah strategi untuk membujuk beberapa fungsionaris HMI untuk merubah asas Islam menjadi Pancasila lewat para alumni pada masa itu. Hingga pada ahir mei 1983 kongres HMI tetap menjadikan Islam sebagai asas organisasi, dan secara tegas menolak asas tunggal Pancasila. Namun pada Sidang Majelis Pekerja Kongres (MPK) II dan rapat pleno PB HMI pada tanggal 1-7 april di ciloto Puncak-Bogor PB HMI secara sepihak mengubah asas Islam menjadi Pancasila. Reaksi keras pun mengalir dari cabang-cabang di daerah menolak keputusan PB HMI. Bahkan sampai pada pembekuan beberapa cabang yang membangkang keputusan PB HMI dan mengganti dengan cabang transitif yang pengurusnya diambil dari pengurus besar HMI itu sendiri.

Menjelang diselenggarakannya Kongres XVI di padang Sumatera barat, dijadikan forum untuk melegitimasi perubahan asas oleh PB HMI. Dengan demikian tak akan ada lagi cabang-cabang yang menolaknya, namun di sisi lain cabang-cabang yang menolak kebijakan dan keputusan tersebut membentuk forum yang bernama Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) yang pada mulanya forum ini digunakan untuk berdialog dengan pengurus besar HMI dan MPK mengenai perubahan asas dalam kongres yang direncanakan oleh PB HMI. Namun tanggapan PB HMI terkesan meremehkan, sehingga pada ahirnya cabang-cabang itu melakukan demonstrasi di depan kantor PB HMI di Jakarta. Dalam demonstrasi tersebut PB HMI malah menanggapi dengan mengundang kekuatan militer untuk menghalau MPO, dan beberapa kader HMI ditangkap dengan alasan subversive. Dengan diwarnai kekacauan oleh dua kubu yang saling bertentangan, maka kongres ke XVI menjadi catatan sejarah terpecahnya HMI menjadi dua bagian yakni HMI ‘Dipo’ dan HMI MPO. Dan massa pendukung MPO pulang dengan kekecewaan yang mendalam, dan kemudian barisan ini menyelenggarakan kongres di Jogjakarta.

Walaupun terkesan illegal dan sangat diharamkan bagi pemerintah karena dianggap membangkang dan anti Pancasila, meskipun demikian kongres tetap diselenggarakan dengan membuat pengumuman bahwa kongres akan dilaksanakan di Kaliurang, namun pada kenyataannya kongres dilaksanakan di sebuah desa di Gunung Kidul, dan berhasil mengecoh aparat. Saat aparat tahu bahwa kongres dialihkan maka aparat pun mengejar. Pada ahirnya kongrespun selesai dan sudah berdiri “HMI Perjuangan” yang tetap konsisten mempertahankan Islam sebagai ideologi dan kemudian disebut dengan HMI-MPO.

HMI-MPO lahir sebagai sosok ‘anak haram’ diatas Orde Baru dengan hegemoni kekuasaan militer pada masa itu HMI MPO tampil sebagai bintang yang berani berteriak lantang melawan kekuasaan. Walau harus berjuang di bawah tanah demi mempertahankan idealisme dan eksistensinya, hingga dikenal sebagai organisasi yang fundamentalis.

Dengan empat alasan inilah HMI-MPO berdiri:

.Alasan Ideologis. Dimana Islam sebagai agama yang paripurna, selain memiliki sistem aqidah yang kokoh dan bersih, memiliki sistem muamalah mulai dari keluarga, sosial, pilitik, budaya, hukum, dan militer tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam.

Alasan Latar Belakang Historis. Semangat perjuangan bangsa melawan penjajah banyak dilakukan oleh tokoh-tokoh islam, serta munculnya pancasila sebagai dasar Negara merupakan kompromi tertinggi umat islam demi kepentingan bangsanya.

Alasan Latar Belakang Konstitusional. Piagam Jakarta yang berbunyi .. “kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluknya”, menjiwai pembukaan UUD 1945 yang kmudian dijabarkan kedalam pasal 29 bahwa secara konstitusional Negara membiarkan dan melindungi pelaksanaan syariat islam termasuk penggunaan asz islam dalam sebuah organisasi islam. Itu artinya asaz tunggal bertentangan dengan pancasila itu sendiri.

Alasan Latar Belakang Operasional. Dimana keputusan hanya diambil oleh segelintir orang saja, dan diputuskan bukan diforum kongres. Dan pada ahirnya HMI MPO harus berhadapan dengan pemerintah sampai pada reformasi 1998.

HMI MPO membentuk beberapa organisasi sayap seperti Liga Mahasiswa Muslim Yokyakarta (LMMY), Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta (FKMIJ), SEMIKA dan lain-lain.

Kini HMI MPO semakin besar dan eksistensinya pun tidak diragukan. Dengan semangat islamnya yang tinggi. Tentu hal ini menjadi tantangan besar bagi kalangan kader HMI MPO untuk selalu mempertahankan ideologinya sehingga tetap kokoh sepanjang masa, apalagi zaman telah berubah dengan ditandai besarnya tantangan global pada masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. HMI harus tampil sebagai organisasi yang multifungsi mampu menerjemahkan segala bentuk problematika kehidupan.

Besarnya HMI MPO saat ini tidak akan mejamin bahwa Himpunan ini akan terus eksis dan berkembang sesuai dengan harapan para kadernya. Memang belakangan ini selama kurang lebih lima tahun HMI MPO menunjukkan tajinya dalam pergolakan bangsa Indonesia, menjadi cerminan bagi masyarat. Semenjak reformasi HMI MPO terus berkembang dan memberikan kontribusi yang begitu besar bagi bangsa Indonesia salah satunya ditandai beberapa alumni yang masuk kedalam kabinet pemerintahan Indonesia. Para kader HMI MPO pun ikut aktif dan terus mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat baik di Pengurus Besar HMI MPO Maupun ditingkat cabang-cabang yang ada di wilayahnya masih-masing.
Di beberapa daerah contohnya di HMI Cabang Pekanbaru dua tahun belakangan ini terus eksis memperjuangkan ha-hak masyarakat bahkan mampu menggulingkan pemerintah daerah yang terlibat kasus korupsi. Di beberapa daerah lainnya pun aktif mengawal pemerintah. Apalagi belakangan ini Indonesia juga kesulitan dalam bidang ekonomi ditambah melonjaknya harga sembako dan membuat kesulitan pada masyarakat.

Indonesia saat ini mengalami krisis kepemimpinan hal ini dibuktikan dengan disetiap momentum Pemilu. Banyaknya wajah-wajah lama maupun wajah-wajah baru yang menawarkan janji-janji kampanyenya namun hal itu tidak mengubah penurunan angka Golput dalam masyarakat. Banyaknya kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang menyeret pemimpin negeri ini sehingga kepercayaam masyarakat semakin berkurang.

Di sisi lain Indonesia juga mengalami kemerosotan moral dimana para generasi muda Indonesia saat ini tidak lagi menunjukkan kesantunannya sebagai ciri khas bangsa Indonesia apalagi pendidikan juga sudah tidak lagi menjadi sebuah harapan yang positif bagi masyarakat karena sudah menjadi ajang bisnis bagi para pemodal. Yang makin parah adalah dimana pemuda dan pemudi dengan sikap hedonism yang kebarat-baratan serta apatisme terhadap lingkungan sekitar yang semakin tinggi.

Problematika bangsa Indonesia diatas adalah PR (Pekerjaan Rumah) besar bagi setiap kader HMI MPO saat ini. HMI MPO harus mampu menjawab tantangan besar yang sudah mengakar di depan mata kita. HMI MPO sebagai sebuah organisasi yang dihadapkan dengan kondisi kekinian, yang mana kita tahu bahwa midernisasi dan globalisasi telah menyeret bangsa kita kepada kemerosotan moral. HMI MPO harus dapat menyesuaikan diri jika ingin bertahan dan terus maju sesuai dengan tujuan HMI MPO itu sendiri yakni “Terbinanya mahasiswa Islam menjadi insan ulul albab yang turut bertanggung jawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhai Allah SWT”.

Maka segala bentuk perjuangan para kader HMI mengarah pada tujuan itu sendiri. HMI MPO sudah waktunya mempersiapkan diri untuk berperan secara intelektualitasnya sebagai insan ulul albab atas dasar Khittah Perjuangan sebagai paradigma gerakan. Setiap kader HMI MPO harus membangun kesadaran untuk merespon masa depan, bukan justeru mengenang keindahan dimasa lalu.

Tantangan terbesar bagi kader HMI MPO bukanlah anak-anak GMNI, KAMMI, PMII atau teman-teman perguruan tinggi lainnya, melainkan ribuan anak muda Indonesia yang sekarang ini sedang menuntut ilmu di luar negeri. Ada sekitar 29.000 anak muda indonesia yang kuliah di Australia, belum lagi ribuan yang mengambil studi di Amerika, anak-anak inilah yang diprediksi akan mengambil tonggak kepemimpinan bangsa nanti dan tentunya sebagai kader HMI MPO harus mampu bersaing dengan mereka. Di sinilah peran setiap kader HMI MPO untuk andil dalam memperbaiki tatanan masyarakat indonesia dimulai dari Himpunan ini maka akan lahir sebuah generasi baru yang mampu menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur.

Terahir organisasi HMI MPO harus mengedepankan intelektualitasnya dalam menyelesaikan segala persoalan-persoalan bangsa yang kian komplek, tentu menjumput kembali kutipan-kutipan lama yang pernah menjadi wacana bagi HMI MPO seperti ‘HMI bukan hanya Himpunan Mahasiswa Islam’ saja melainkan menjadi ‘Harapan Masyarakat Indonesia.’ 250 juta jiwa menanti karya nyata bagi setiap kader HMI MPO untuk bangsa Indonesia.

wallahu a’lam bisshawab

Mizan Musthofa