Menjadi Manusia Merdeka – Novel Biografi Lafran Pane – Ahmad Fuadi

Novel yg berbasis biografi Lafran Pane karya A Fuadi dengan judul Merdeka Sejak Hati ditulis dg baik oleh Fuadi. Gaya bertutur makin matang dan sudah seperti plot untuk film.

Dengan beragam pendidikan beasiswa penulisan sastra dan film, membaca novel tentang Pahlawan Nasional Lafran Pane ini seperti menonton film. Banyak cerita yg detail dan juga referensi yang bagus. Dalam penulisan novel ini, Fuadi selain wawancara dengan beragam tokoh yang pernah dekat dengan perjalanan hidup pendiri HMI juga dilengkapi dengan riset di perpustakaan Belanda. Buku novel yang layak dibaca dan dibedah terutama untuk generasi muda dan khususnya anggota dan kader HMI.

Resensi Novel Biografi Lafran Pane

Memerdekakan manusia adalah membebaskan mereka dari penghambaan terhadap apapun, termasuk penghambaan kepada sesama manusia dan seluruh materi. Merdeka adalah menunggalkan penghambaan hanya kepada Tuhan semesta, membebaskan manusia dari dunia yang sempit menuju dunia yang luas, serta dari kesewenang-wenangan. Itulah barangkali simpul dari makna Merdeka Sejak Hati yang menjadi judul novel biografi karya mutakhir A. Fuadi ini.

Berkisah tentang kehidupan Lafran Pane sejak mula lahir hingga akhir hayatnya, A. Fuadi tanpa terkesan menggurui secara piawai merunut cerita yang mendefinisikan kemerdekaan, didasarkan pada fase umur. Di kala Lafran kecil lebih memilih kehidupan, tinggal di rumah nenek dari ayah bersama kakak perempuannya Salmiah, daripada tinggal di rumah mewah Nenek Siregar, Lafran tak menginginkan kehidupan dengan banyak aturan dan tata tertib. Ia ingin bebas.

lafran pane

Begitu pun, ketika kali pertama Lafran memasuki dunia pendidikan di surau, di sekolah agama hingga sekolah modern, ia tetap memburu kebebasan. Sekali-dua, ia bertahan untuk tetap mengaji, karena Tuan Guru Malin Mahasan yang cerdik menangkap gelagat keinginan anak-anak untuk bermain, maka Tuan Guru memfasilitasinya di surau, termasuk mengajarkan mereka olah badan, belajar bela diri.

Namun, itu tentu tak bertahan lama. Satu-dua jenis permainan yang terus diulang tentu akan sangat membosankan, dan anak-anak (Lafran dan teman-temannya) membutuhkan tantangan, bermain dan berkejaran di pematang sawah, menebas dan memotong bambu menjadi rangka layang-layang, masuk kebun mengambil buah, adalah dunia yang lebih luas dari surau, sehingga membuat mereka lebih memilih bolos.

Kejadian serupa berulang di sekolah. Jalanan, emperen toko, gedung bioskop hidup menggelandang bersama anak jalanan, tukang tiket bioskop, berjualan es lilin, bergaul bersama preman tetap menjadi pilihan Lafran kecil. Baginya kehidupan di luar sekolah dan di luar rumah lebih merdeka. Fenomena ini memunculkan pertanyaan reflektif, kenapa sekolah justru gagal membebaskan, menyediakan kehidupan yang nyaman? Sebebas dan senyaman di jalanan?

Jawaban yang harus terus menerus dicari, bukan sekadar untuk mengenang kehidupan Lafran tempo dulu, tetapi untuk menghadirkan sekolah yang lebih ramah dan membebaskan bagi generasi Indonesia Merdeka, hari ini dan esok.

Perjuangan dan Pelajaran Hidup Lafran Pane

Lafran kecil, sebagai orang yang meneguhkan sikapnya untuk merdeka bahkan rela mengorbankan materi dan kemewahan yang disediakan keluarganya, demi sebuah kemerdekaan, bukan pula manusia yang secara liar tak mau diatur. Terbukti di tempat latihan tinju, ia secara sukarela mengikuti aturan untuk disiplin berlatih, bahkan di jalanan yang bebas, ia tetap memegang teguh nilai dan prinsip untuk tidak bertaruh saat bermain kartu, tetap membaca dan menjalankan ajaran-ajaran agama, sebagaimana nasihat nenek dan guru mengaji yang terus diingatnya.

Lewat novel Merdeka Sejak Hati, A. Fuadi menitip makna merdeka bagi setiap orang lewat sosok Lafran. Merdeka adalah bila sudah bisa berdiri sendiri, lepas dari tuntutan apapun, tidak terikat atau tergantung pada pihak mana pun, bersifat leluasa, yang terletak pada kedalaman hati manusia. Setiap orang yang berhasil menjaga hatinya dari niatan tidak baik –keserakahan, kerakusan, dendam kesumat, dan kebencian– tetapi membiarkan diri dikuasai oleh cinta kasih, kepedulian dan pengorbanan adalah manusia merdeka. Ketika dia telah mencapai jati dirinya sebagai manusia merdeka itu, maka barulah dia bisa memerdekakan orang lain seperti dirinya sendiri.

Novel ini berlatar Indonesia sejak dijajah Belanda, dikuasai Jepang, proklamasi kemerdekaan, kembali ingin dikuasai sekutu hingga konflik antarbangsa sendiri, bercerita tentang pergolakan dan pergerakan Lafran Pane yang berjuang untuk merdeka dengan cara berbeda dari kakak-kakaknya, Armijn Pane dan Sanusi Pane.

Sosok Pendiri Himpunan Mahasiswa Islam

Saat menjadi mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam, kini UII), kegalauan melihat kondisi mahasisma muslim mendorong Lafran mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), melewati berbagai cemoohan dari ruang kelas hingga forum-forum diskusi mahasiswa. Setelah terbentuk, dengan ringan ia meletakkan jabatan, memerdekakan dirinya dari ego pribadi, menyerahkan pimpinan kepada Mintaredja, kawannya yang kuliah di Balai Perguruan Gadjah Mada untuk menjadi Ketua HMI, untuk kepentingan dan cita-cita lebih besar, adalah cara dia menyampaikan ide dan cara kerja kemerdekaan. Sebuah sikap yang mestinya diwarisi oleh generasi penerusnya di HMI.

Hingga masa-masa tuanya, Lafran Pane tetap konsisten merawat kemerdekaannya dengan berusaha tidak mengikatkan diri pada materi dan kemewahan. Ia hidup dengan penuh kesederhanaan, mengayuh pedal sepeda tuanya pergi ke kampus, dan tinggal di rumah dinas yang sederhana. Lafran dengan tegas menolak segala pemberian dan tawaran jabatan, yang menurutnya tak pantas ia terima.

Bergelar guru besar, tokoh pendiri HMI, dan ditetapkan menjadi pahlawan nasional, hal-hal itu tidak menyebabkan A. Fuadi terpengaruh dan menghalanginya untuk menarasikan sosok Lafran Pane secara manusiawi. Sebuah sikap merdeka yang juga harus dimiliki oleh setiap penulis.

Novel ini secara gemilang berhasil menghadirkan sosok teladan yang semakin langka kita temui di negeri ini. Menemani kita untuk melakukan pencarian dan menemukan makna kemerdekaan sejati, sekaligus secara khusus mengajarkan kepada kader-kader HMI untuk mengoreksi dan mendefinisikan ulang makna independensi etis mereka sebagai kader, sebagai muslim, sebagai mahasiswa, dan sebagai warga negara Indonesia. Mestinya, cita keislaman dan keindonesiaan meniscayakan mereka untuk tidak berjarak dengan masjid dan tradisi intelektual.

——

Judul BukuMerdeka Sejak Hati; Pengarang: A. Fuadi;

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2019;

Tebal: 300 halaman