Pendidikan sebagai upaya strategis memajukan kecerdasan bangsa adalah pilar penting pembangunan nasional. Bersama kesehatan dan ekonomi, pendidikan banyak diharapkan sebagai solusi mengatasi kebodohan, mengurangi dampak pengangguran dan menyeimbangkan kebutuhan manusia. Untuk itu, penting bagi semua manusia Indonesia mendapatkan kesempatan menikmati dan merasakan akses pendidikan. Ketika saluran pendidikan tersumbat karena permasalahan biaya, stagnasi model pembelajaran, kurikulum yang monoton dan lainnya tentu diperlukan kearifan mengatasinya.
Salah satu yang menjadi sorotan dunia belakangan ini (termasuk Indonesia) adalah bagaimana menegmbangkan mutu pendidikan nasional. Kepentingan ini bersifat strategis karena bertujuan bagaimana menyeimbangkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik sehingga kemajuan pendidikan semakin berbanding lurus dnegan peningkatan kesejahteraan masyarakat suatu negara.
Dalam kaitan wacana pendidikan nasional, mutu pendidikan berusahakan dioerientasikan bagaimana mengarahkan peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian maka pada gilirannya akan menjadikan masyarakat Indonesia masyarakat yang bermartabat di mata masyarakat dunia.
Teori Pilar Pendidikan
Berangkat dari pemikiran itu UNESCO mencanangkan empat pilar pendidikan sekarang dan masa depan yaitu: (1) learning to Know, (2) learning to do (3) learning to be, dan (4) learning to live together.
Learning to know (belajar untuk mengetahui), dimaknai sebagai kepemilikan materi informasi yang banyak dan mendalam. Konsepsi ini menekankan bagimana kita diajak menangkap peluang sehingga bisa berkembang logika empirimisme dan trasendental yaitu kemampuan mengaitkan kemampuan intelektual dengan nilai spiritual. Pada titik ini, guru berperan strategis sebagai mitra dialog dan fasilitator untuk mengembangkan kemampuan intelektual siswa. Proses pendampingan diperlukan agar siswa mendapatkan pemahaman utuh atas sebuah materi yang disesuaikan nilai moral, etika dan agama yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.
Learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) dimana kita diminta terus belajar memperbaiki dan menumbuh kembangkan kerja. Selain itu juga mau dan mampu mengembangkan teori atau konsep intelektualnya. Sebab pada dasarnya bakat dan minat pesreta didik dipengaruhi bukan hanya keturunan, tapi juga lingkungan. Lingkungan yang kondusif, mendidik dan baik berpotensi mendorong terciptanya manusia yang unggul. Untuk itu, guru banyak berfungsi sebagai pemberi keteladanan bagi peserta didik.
Learning to be (belajar untuk menjadi seseorang). Dalam kehidupan dewasa ini, manusia bisa hanyut terbawa arus jika gagal menemukan jati dirinya. Untuk diperlukan proses kehidupan bermasyarakat sebagai implementasi hasil belajarnya. Untuk itu, guru perlu menempatkan peserta didik sebagai pendorong mereka berkembang. Sedangkan, bagi peserta didik pasif membutuhkan bantuan guru sebagai penunjuk arah dan fasilitator untuk mengembangkan potensi terpendam dalam dirinya.
learning to live together yaitu bagaimana peserta didik diarahkan mampu mengembangkan kita dan strategi belajar yang independen, kreatif, inovatif dan efektif untuk mencapai tahapan learning society. Pada domain ini, adanya perbedaan SARA harus dihapuskan karena kemajuan seseorang dalam masyarakat akan dimiliki mereka yang mampu belajar sepanjang hidupnya.
Hilangnya Peran Guru
Sangat disayangkan, konsepsi UNESCO belum berjalan baik dan efektif dalam dunia pendidikan nasional. Kita masih mudah dipertemukan kegalauan guru mengembangkan kurikulum kreatf, inovasi model pembelajaran dan sebagai mitra siswa menjalani kehidupan sekolah. Dalam banyak kesempatan, guru masih belum banyak mengembangkan diri dan kemampuan akademisnya sehingga lebih profesional.
Sekarang banyak guru gagal menyerap dan mengembangkan kemampuan siswa. Rendahnya kompetensi akibat buruknya pelaksanaan sertifikasi guru menjadi salah satu penyebabnya. Bagaimana tidak, guru lebih banyak disibukkan mengejar sertifikat agar mendapatkan perbaikan kesejahteraan. Akibatnya kompetensi terabaikan dan peserta didik menjadi korban buruknya kemampuan mengajar guru.
Dampaknya proses transfer pengetahuan kepada siswa belum berjalan maksimal. Kurikulum yang padat juga menghambat pendidikan karakter dimana nilai spritalitas dan moralitas gagal dikembangkan. Persoalan bertambah rumit ketika guru gagal memberikan teladan dan lingkungan sekolah yang kurang kondusif. Pada titik kulminasi, kemampuan belajar sepanjang hayat (long life education) guru dan siswa tidak terbentuk.
Kejadian ini tentu tidak boleh dibiarkan. Sebab kegagalan empat pilar pendidikan berdampak mengganggu kepentingan pendidikan nasional di masa mendatang. Bagaimanapun juga, keberhasilan pembinaan dan pemberdayaan guru dapat mendorong rekonstruksi paradigma dan perilaku peserta didik. Untuk itu, pemerintah perlu merumuskan strategi dan kebijakan efektif yang pro guru. Agar visi mulia “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang tercermin dalam empat pilar pendidikan dapat tercapai.
Inggar Saputra
Mahasiswa Universitas Negeri Jakarta
Aktif sebagai peneliti Institute Reform For Sustainable (Insure)