Komunitas Kreatif untuk Apa?

“HMI sebagai organisasi mahasiswa harus mengarah pada komunitas kreatif!” sela salah seorang kader saat berdiskusi dalam forum Latihan Kader II beberapa waktu lalu. Spontan, kader lainnya hanya diam, berpikir apa artinya komunitas kreatif dan mengapa perlu untuk didiskusikan.

Sebagai kader yang update tentang perkembangan Pengurus Besar (PB HMI) tentu kita sering membaca atau mendengar konsep komunitas kreatif. Namun semakin menggali makna-nya dari berbagai literatur, “komunitas kreatif” merupakan istilah yang asing, bahkan terkesan dibuat-buat. Apa sebenarnya komunitas kreatif yang dimaksud oleh PB HMI? Semacam perkumpulan art-designer yang gemar corat-coret dan membuka distro? Atau berpikir untuk kemajuan pemikiran di HMI secara kreatif? Bingung, itu yang pertama kali terlintas. Dari kebingungan, maka timbulah rasa ingin tahu yang dalam untuk memperjelas definisi dan makna Komunitas Kreatif dengan mewawancarai beberapa kader HMI yang masih aktif.

Pierre Bourdieu seorang tokoh Intelektual Perancis lebih sering menggunakan Intelektual Kolektif (Collective Intellectuals) daripada menggunakan istilah Komunitas Kreatif (Creative Community) jika berbicara tentang peran intelektual dalam perubahan suatu sistem masyarakat. Kemungkinan besar, kedua istilah tersebut memiliki akar yang sama, yaitu transformasi fungsi intelektual menjadi agen perubahan dalam suatu tatanan masyarakat yang ter-hegemoni  oleh institusi negara maupun kekuasaan modal.

Jean-Paul Sartre memiliki definisi tersendiri tentang konsep intelektual kolektif, yang ia sebut dengan Total Intellectual, begitu juga Foucault dengan istilah Specific Intellectual. Pada hakikatnya konsepsi tersebut memiliki kesamaan. Perbedaan hanya terletak pada tahapan praksis dan varian-variannya. Sartre misalnya tidak sependapat dengan sindikasi-intelektual seperti model komunitas intelektual tertutup Blanquisme saat revolusi Perancis. Begitu juga Foucault yang memimpikan peran intelektual yang terbuka tanpa adanya rekayasa-sindikat.

Terdapat beberapa versi tentang definisi komunitas kreatif yang diusung oleh PB HMI, antara lain menurut pendapat Hafiz Rani, salah seorang kader HMI, “komunitas kreatif itu sebenarnya budaya epistemik yang sudah lama tumbuh di HMI pada era tahun 80-an, gagasan ini sebagai bentuk perlawanan terhadap distorsi pemikiran praksis ke ranah pemikiran paradigmatik.”

“Komunitas yang mengembangkan bakat dan pemikiran anggotanya” ucap Akka Akbar kader HMI cabang Yogyakarta.

Jika Intelektual Kolektif menurut Pierre Bourdieu diposisikan sebagai juru bicara (spokepersons) bagi kaum yang tertindas, sebaliknya konsep Komunitas Kreatif lebih menitikberatkan pada hegemoni kaum intelektual untuk merubah sistem. Dapat dikatakan, komunitas kreatif merujuk pada proyek rekayasa sosial yang direncanakan oleh suatu kumpulan intelektual yang membawa misi tertentu.

“Saya dengar langsung dari Ketua PB (Alto), HMI berusaha untuk membentuk komunitas kreatif (tidak hanya 1 komunitas) yang bertujuan untuk mempercepat rekayasa sosial” seperti yang ditekankan oleh Zamzami, kader HMI cabang Semarang.

Mafia Berkeley, Suatu Contoh

Melihat sejarah pergerakan intelektual di Indonesia, istilah Komunitas Kreatif dapat dipahami muncul sebagai bentuk model kelompok intelektual pada zaman Orde Baru. Munculnya istilah Mafia Berkeley yang menguasai sektor kebijakan ekonomi di Indonesia dianggap menjadi pioneer dari istilah Komunitas Kreatif. Mafia Berkeley dengan tokoh sentralnya, Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Ali Wardhana, J.B. Soemarlin, dan Dorodjatun Koentjoro Jakti merupakan lulusan doktor atau master dari University of California, Berkeley di tahun 1960-an atas bantuan Ford Foundation.

Komunitas malam minggu ini dibentuk secara informal saat sebagian besar mahasiswa menghabiskan waktu malam untuk pesta dan mabuk-mabukan, komunitas kreatif (Mafia Berkeley) ini membuat sebuah konsep tentang perubahan lanskap ekonomi Indonesia 20-30 tahun mendatang. Oleh karena itu, sekembalinya ke Indonesia, posisi sentral di dalam pemerintahan dimanfaatkan untuk merumuskan kebijakan yang berpijak pada ide perubahan ekonomi tersebut. Hanya saja, perubahan tersebut lebih mengarah pada hal yang bersifat negatif, seperti menjalankan resep-resep dari lembaga donor asing untuk mengontrol regulasi penanaman modal di Indonesia, masuknya investor asing secara besar-besaran di zaman orde baru, dan berbagai kebijakan lainnya yang dinilai berpihak pada kepentingan modal asing.

Merunut pada fenomena mafia berkeley sebagai komunitas intelektual yang justru membawa malapetaka bagi sebuah sistem, Pierre Bourdieu (1996), dalam bukunya An Innovation to Reflexice Sociology mengungkapkan bahwa “kebutaan intelektual terhadap kekuatan-kekuatan sosial yang mengatur arena intelektual, dan karena itu praktik mereka, adalah apa yang menjelaskan bahwa, secara kolektif dan seringkali di bawah suasana radikal, para intelejensia hampir selalu menyokong kekuasaan kelompok dominan.”

Disatu sisi, kemunculan Mafia Berkeley di Indonesia dapat dijadikan sebagai contoh tentang kerangka komunitas kreatif dengan skema intelektual tertutup dan bersifat informal. Jika HMI ingin membentuk komunitas kreatif, maka hal yang pertama dilakukan adalah membentuk sindikat-sindikat antar kader, bersifat rahasia, melakukan pertemuan-pertemuan rutin dan membahas konsep tentang perubahan 20-30 tahun ke depan. Jumlahnya mungkin terbatas, 5-10 orang. Namun dipastikan intelektual yang bergabung dalam satu sub-komunitas kreatif tersebut memiliki posisi strategis, atau berpotensi menjadi tokoh intelektual di Indonesia. Tanpa adanya ikatan komitmen dan tujuan yang jelas, Komunitas Kreatif hanyalah angan-angan Pengurus Besar HMI untuk mengubah sistem di Indonesia.

“Praktik Revolusioner takkan berhasil tanpa Teori Revolusioner” kata Lenin.

Dalam konteks HMI, jika definisi Komunitas Kreatif sudah jelas, maka selanjutnya HMI perlu merumuskan praktik dari Komunitas Kreatif tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Hafiz Rani kader HMI cabang Semarang, “…tapi, komunitas kreatif yang diusung PB HMI, saat ini belum tepat karena seharusnya tema itu memposisikan HMI berbasis keilmuan dengan mekanisme budaya diskursus. Sampai detik ini, saya rasa PB belum melakukannya”

Oleh: Bhima Yudhistira*

 *Kader HMI Komisariat Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada
Mahasiswa Program Internasional, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

baca juga : 5 Cafe Paling Hits Di Depok