Toleransi Tanpa Buzzer

Zaman SMA dulu, aku pernah punya temen akrab yang kebetulan satu marga. Bedanya dia palang, sementara diriku bulan bintang.

Bagi suku Batak, satu marga itu berarti saudara. Pun begitu juga hubunganku dan temenku itu. Pertemanan rasa saudara. Dia selalu mengakui aku sebagai kakaknya.

Temen akrab, satu marga, punya hobi dan ketertarikan yang sama. Kami sama-sama suka bersahabat pena, hobi filateli. Tidak seperti remaja pada umumnya yang hobi nge-mall, ke bioskop, atau mejeng (istilah tahun 80 dan 90-an yang mengandung makna nongkrong), kami justru menikmati petualangan untuk mengunjungi tempat-tempat anti mainstream.

Masih sangat kuingat, dulu saat pulang sekolah, kami sering singgah ke perpustakaan di konjen Malaysia, konjen Singapore, atau British Council. Selain untuk membaca buku, biasanya kami juga sering dikasih perangko bekas oleh pustakawan di sana untuk dikoleksi.

Satu waktu, saat Kaisar Hirohito meninggal, kami pun menyempatkan diri datang ke konjen Jepang hanya sekedar untuk mengisi ucapan belasungkawa di buku duka.

Selain hobi bertualang ke perpustakaan di beberapa konjen, kami juga sering berkunjung ke kapal perang negara-negara sahabat yang kebetulan sedang membuang jangkar di pelabuhan laut kota kami. Biasanya selain untuk refreshing, kesempatan ini kami gunakan untuk melatih keberanian berbahasa Inggris.

Itu kisah tentang persamaan yang menyatukan kami. Lantas bagaimana dengan perbedaan? Bukankah kami berbeda aqidah?

Zaman dulu, perbedaan aqidah tak lantas membuat masing-masing pribadi saling hujat. Toleransi tak perlu digembar gemborkan, tapi justru bisa terlaksana dengan sangat baik, adem, dan manis.

Temenku ini rajin banget main ke rumah. Dia akrab dengan keluargaku. Biasanya, saat main ke rumah, hal pertama yang dia tanya ke ibuku, “Ibuk masak apa? Aku nanti makan, ya Buk?”

Sedemikian hangat komunikasi dia dengan ibuku.

Tapi sebaliknya, saat aku main ke rumah dia, biasanya sebelum tiba di rumahnya, kami akan singgah makan di warung bakso atau rumah makan di sekitar rumahnya. Pun untuk minuman atau makanan yang akan dia hidangkan buatku, dia beli dulu di toko.

Lho…kenapa harus seperti itu? Soalnya keluarga mereka penikmat B2. Dan biasanya panganan itu selalu rutin ada di kulkas. Ntah dalam bentuk mentah atau olahan. Dia sangat paham kalo aku selalu waspada dengan yang namanya makanan. Makanya, supaya aku nyaman dan gak was-was, dia gak pernah menghidangkan makanan yang diambil dari dapurnya.

Pun demikian dengan perayaan hari besar. Walau tinggal di satu kota dan selalu bertemu, setiap perayaan hari besar agama, kami saling berkirim kartu ucapan.

Namun kebiasaan ini berubah setelah aku memahami konsep ucapan selamat untuk hari raya mereka. Saat itu, kukatakan terus terang padanya, bahwa aku tidak akan pernah lagi mengirimi dia kartu ucapan di setiap akhir Desember. Dan…jawabannya?

“Gak papa, yang penting kita masih sodara, dan kau gak menyalahi ajaran agamamu.”

Sesimpel itulah yang namanya toleransi.

Tidak mengirim ucapan selamat, tak lantas menghentikan pertemanan kami. Setamat SMA, kami justru melanjutkan kuliah di universitas yang sama, walau beda fakultas.

Biasanya hari Jumat setelah usai perkuliahan, ada acara-acara keagamaan. Masing-masing kami, rutin mengikuti kegiatan tersebut. Nah…setelah usai berkegiatan kami sering mengisi hari dengan dolan ke tempat-tempat antimainstream yang unik-unik. Dia dengan seragam putih hitamnya, aku dengan hijab lebarku. And it’s oke.

Sebenarnya, sejak dulu Indonesia sudah hidup dalam tatanan toleransi yang sangat apik. Namun seiring berjalannya waktu, semua itu menjadi porak poranda dengan hadirnya para zerrr zerrr Rp yang hobi nge-buzz. Mendengung-dengungkan toleransi, tapi justru mereka sendiri yang mengacak-acak dan menghancur leburkan semuanya.

Salatiga, 23 Desember 2021.

Ani Rohani P.