Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan, hanya kepada Allah kembali kamu semuanya, lalu diberitahu kepadamua apa yang kamu perselisihkan itu (al-Maidah (5) : 48).
Tauhid merupakan doktrin dasar yang paling fundamen dalam ajaran Islam. Seorang muslim, diwajibkan untuk menginternalisasi Tauhid sebagai paradigma (pandangan dunia) dalam mengarungi kehidupan. Selama lebih separuh masa dakwah Rasulullah saw (13 tahun) memfokuskan perjuangannya pada internalisasi Tauhid di masyarakat Arab (Quraisy).
Tauhid, bukan sekedar pengakuan atau persaksian bahwa tiada Ilah selain Allah, tapi pemaknaan terhadap Tauhid melampaui dari sekedar pengakuan atas eksistensinya yang tunggal. Jika kita tarik pemaknaan Tauhid dalam ranah realitas ciptaan (makhluk), maka Tauhid berarti adalah pengakuan akan pluralitas atas selain Dia (makhlukNya). Hanya Dia yang tunggal, dan selain Dia adalah plural.
Pluralitas adalah bagian dari kehendak Allah, dan Allah menciptakan berbagai variabelnya agar pluralitas tidak mengalami benturan. Oleh karena itu, Tauhid murni adalah meyakini bahwa keesaan hanya milik Allah dan pluralisme adalah prinsip dasar masyarakat.
Bahwa semua umat manusia berbeda adalah fakta yang tak terbantah. Secara fisik dan psikologis tidak ada manusia yang sama persis. Disamping perbedaan ras, suku, bangsa, dan bahasa yang merupakan perbedaan bawaan manusia, terdapat sekian banyak perbedaan perolehan manusia, antara lain dalam gagasan, pengetahuan, pendekatan, prioritas, dan penilaian.
Agama merupakan salah satu varian perbedaan manusia, baik dalam ruang bawaan maupun perolehan. Pluralisme merupakan prinsip dasar kehidupan sosial yang diarahkan pada pengakuan akan perbedaan. Dan pengakuan terhadap perbedaan tersebut diarahkan pada terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti kebebasan, koeksistensi damai, egalitarianisme, kasih-sayang, amar ma’ruf-nahy munkar, fastabiqul khaerat, dan keadilan. Seluruh nilai-nilai tersebut bermuara pada nilai kesucian dan kesempurnaan Tuhan sebagai Wujud Mutlak dan modus eksistensi seluruh realitas.
Secara eksplisit Alquran dalam surat 30 : 22 dan 49 ; 13 mengakui pluralitas sebagai sunnatullah dalam kehidupan. Oleh karena itu, secara hakiki pluralisme merupakan suatu kebenaran alamiah, hukum universal, pandangan hidup yang legal, dan rahmat Ilahi. Pluralisme sebagai prinsip dasar sosial sangat jelas dalam wahyu Alquran ketika memperlakukan manusia secara sama. Tidak ada perbedaan dalam warna kulit, bahasa, suku, bangsa dan keturunan semuanya sama di mata hukum.
Alquran juga mengemukakan, bahwa alih-alih merancang suatu sistem masyarakat yang seragam, Allah menakdirkan pluralisme yang abadi dalam hal peradaban, sistem, hukum, pendapat, dan agama. Tujuan pluralitas dalam ciptaan bukanlah untuk mendorong ketidakharmonisan dan perang, melainkan hal ini merupakan tanda dari Tuhan bahwa manusia harus berjuang untuk mempunyai saling pengertian dengan baik.
Dan yang terpenting, sebagaimana diisyaratkan oleh Allah dalam surat 5 : 48, tujuan dari penciptaan realitas yang plural adalah agar manusia saling berlomba-lomba untuk berjuang mewujudkan masyarakat utama. Hal ini berarti, bahwa Islam tidak berupaya mengingkari maupun melenyapkan atau memaksa “yang lain” (2 : 256), karena Tuhan menciptakan perbedaan sebagai sarana untuk mendorong perlombaan dalam kebaikan diantara umat manusia Selain itu Allah juga menghendaki jalan tengah sebagaimana ditunjukkan dalam kenyataan bahwa ia menciptakan masyarakat muslim sebagai ummatan washatan, suatu masyrakat (per)tengah(an), masyarakat yang menghindari ekstrimitas.
Alquran telah mencapai puncaknya dalam berbicara soal pluralisme, yaitu ketika menegaskan sikap penerimaan Alquran terhadap agama-agama selain Islam. Alquran dengan sangat jelas menyatakan bahwa Allah menghendaki pluralitas agama dengan berbagai perbedaan yang lahir dari hukum-hukum sosial yang Allah tetapkan bagi masyarakat.
Penerimaan Alquran terhadap eksistensi agama lain, bukan hanya sekedar pengakuan terhadap umat agama lain sebagai sesama entitas sosial belaka, sebagaimana umat Islam. Melainkan Alquran, menegaskan jaminan keselamatan eskatologis penganut agama lain selama mereka meyakini eksistensi Allah, eksistensi hari akhir, dan beramal saleh, sebagaimana yang disebutkan dalam surat 2 : 62 dan 5 : 69. Secara implisit, lewat kedua ayat tersebut, Allah ingin mengatakan bahwa semua agama juga mengimani adanya Allah dan hari akhir, serta pengakuan bahwa semua agama menganjurkan untuk beramal saleh.
Sayyed Ali Khamene’I (pemimpin spiritual Iran) dalam pertemuan agama-agama di Teheran mengatakan, semua agama menganggap keselamatan dan kesejahteraan umat manusia sebagai tujuannya. Setiap agama menampilkan “program Tuhan” kepada umat manusia sesuai dengan tuntutan zaman, ruang, dan kapasitas umatnya. Perjuangan dan jerih payah yang dilakukan oleh pembawa risalah agama dan pengikutnya tak lain ditujukan untuk keselamatan umat manusia dan demi jalan Tuhan. Agama-agama Tuhan tidak hanya menghendaki keselamatan umat tertentu, masa tertentu, dan kawasan tertentu saja. Melainkan agama Tuhan menghendaki keselamatan universal untuk semua manusia, lepas dari sekat ruang, waktu, maupun golongan tertentu.
Disatu sisi manusia pasti berbeda, namun di sisi lain umat manusia secara keseluruhan adalah satu kesatuan yang secara substansial memiliki fitrah yang sama, dan menuju pada cita ideal dan nilai universal yang sama pula. Pluralisme membuka ruang terhadap penerimaan realitas yang plural, namun di sisi lain pengakuan pluralitas realitas meniscayakan pengakuan bahwa realitas tersebut mendasarkan dirinya pada kesamaan nilai dan tujuan kemanusiaan yang mengikat semua manusia, terlepas dari apa pun identitasnya yang berbeda, baik bawaan maupun perolehan.
Pluralisme adalah bentuk kelembagaan di mana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau umat manusia secara keseluruhan. Secara praksis, makna pluralisme lebih dari sekedar toleransi moral atau koeksistensi pasif. Pluralisme di satu sisi mensyaratkan ukuran-ukuran kelembagaan dan legal yang melindungi dan mensahkan kesetaraan dan mengembangkan rasa persaudaraan diantara sesama manusia sebagai pribadi atau kelompok.
Pluralisme menuntut suatu pendekatan yang serius dalam upaya memahami pihak lain dan kerjasama yang yang membangun untuk kebaikan semua. Pluralisme juga berarti bahwa kelompok-kelompok minoritas dapat berperan serta secara penuh dan setara dengan kelompok mayoritas di dalam masyarakat, sembari mempertahankan perbedaan dan identitas mereka yang khas.
Pluralisme mensyaratkan pengetehuan dan pengertian akan keragaman manusia (49 : 13). Dengan demikian tumbuhnya saling pengertian akan melahirkan penghargaan yang timbal balik, mencegah kecurigaan, sehingga memunculkan keterikatan moral dan membantu terpeliharanya keadilan. Keterikatan moral pada keadilan adalah hal yang mendasar untuk terwujudnya keadilan yang merata diantara semua manusia. Alquran memerintahkan untuk berbuat adil tanpa memandang perbedaan atau diskriminasi golongan (4 : 135), karena keadilan adalah hak semua manusia, dan hal ini hanya akan terwujud jika pluralisme diinternalisasi sebagai pandangan dan sikap hidup bermasyarakat.
Alquran memang menyatakan bahwa kebenaran dan jalan keselamatan adalah satu, karena berasal dari Yang Satu. Namun pengakuan akan ketunggalan kebenaran dan jalan keselamatan tidak meniscayakan pengingkaran terhadap keragaman pengetahuan, pemaknaan, gagasan, tanggapan, penilaian, dan praktek sebagai perolehan manusia dari kebenaran yang tunggal tersebut.
Kebenaran dan jalan keselamatan yang tunggal menjadi plural setelah dipersepsi dan diinterpretasi oleh kerangka pemikiran manusia yang berbeda. Allah dalam Alquran sebagai pemilik kebenaran tunggal tersebut membuka ruang terhadap keragaman tersebut, dan bahkan dengan tegas menyatakan bahwa keragaman tersebut merupakan “bagian dari kehendakNya” (5 : 48.).
Sekalipun Alquran mengisyaratkan pluralisme sebagai sebuah kemestian hidup, namun Alquran sangat tegas menekankan nilai-nilai universal kemanusiaan sebagai fondasi hidup bermasyarakat. Dalam Alquran tidak ada pluralisme atau ruang bagi pemahaman atau tindakan yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan tersebut, seperti kezaliman, kemunkaran dan penindasan.
Tulisan dikirim oleh Yayasan Al Muntazhar lewat Facebook