Eksistensi dan esensi menjadi hal yang penting bagi sebagian mahasiswa. Ini pun jika persepsi mahasiswa sudah terstruktur dan sadar akan peran dan tanggung jawabnya yang menyandang status sosial sebagai mahasiswa. Bagi sekelompok mahasiswa yang menyibukkan/menghimpun diri dengan dunia pergerakan, mungkin tidak awam dengan tema eksistensi dan esensi. Tapi lain halnya dengan mahasiswa yang diberi label mahasiswa kupu-kupu, dalam artian kuliah pulang, yang tidak aktif berorganisasi, mungkin hanya sedikit yang mengetahui kata dan makna tentang eksistensi dan esensi.
Eksistensi menurut hemat penulis yakni status yang diperoleh/diraihnya baik prestasi akademik maupun non akademik, artinya dimana kita menempati posisi yang hanya sedikit orang melakukannya/memiliki posisi tersebut. Contoh bagi mahasiswa yang aktif berorganisasi akan mudah terbantu dalam meraih eksistensi dirinya, sehingga populer di kalangan/duniannya, bisa karena kecerdasan berfikirnya sehingga memunculkan ide serta gagasan yang menarik, atau yang aktif di media sosial, yang membawa embel-embel akademis baik berupa status, karya personal, dan pengalaman pribadi sehingga mudah untuk dikenali.
Contoh-contoh eksistensi ini bisa dengan mudah kita temui di lingkungan kita, misal di level lebih tinggi yakni seorang caleg dari partai politik tertentu dalam melakukan kampanye politik untuk maju di panggung pileg, atau penceramah dalam menularkan pengetahuan keagamaannya.
Ada baiknya kita mengutip penyataan Prof Buya Hamka, pendiri Yayasan Al-Azhar Jakarta, yang juga sebagai cendikiawan muslim Indonesia yang bisa menjadi bahan untuk renungan dan pengakuan dosa kita, yakni “jika hidup hanya sekedar hidup babi dihutanpun hidup, jika hidup hanya sekedar bekerja kera dihutanpun bekerja”.
Tidak sedikit pula didapati oknum-oknum cerdik yang memanfaatkan organisasi sebagai alat untuk mencapai eksistensi pribadi. Organisasi yang mempunyai peran perjuangan dengan gampang dipelintir untuk mempermudah dalam mencapai eksistensi dengan cara-cara pragmatis, tentu eksistensi ini menjadi bumerang bagi sekelompok mahasiswa yang menghimpun diri dalam organisasi. Bisa ditemui dari pola-pola yang diperankan dengan jelas tidak mencerminkan nilai-nilai ilmiah, tapi lebih diperuntukan dalam rangka mencari kepuasan diri sendiri demi mencapai hasrat pribadi bukan kemaslahatan antar sesama.
Esensi dari mahasiswa menajdi hal yang mesti kita pertanyakan, apakah esensi mahasiswa masih ada atau tidak? Jika yang didapati tidak ada masihkah pelu mahasiswa ada. Esensi menjadi hal yang selalu berkaitan dengan hakikat, membahas mahasiswa tentu tidak terlepas dari rujukan mereka yang belajar di perguruan tinggi, yang disuguhkan dengan teori-teori ilmiah yang bersifat metdologis non mitologis, yang belum khalayak umum mendaaptkannya. Dengan begitu esensi dari adanya mahasiswa yang juga memainkan pernan sebagi agent of change, control sosial dan sebagai agen penerus bangsa, diharap mempunyai esensi sesuai dengan disiplin ilmu yang dikonsentrasikan sebagi bentuk pertanggungjawaban keilmuannya.
Eksistensi dan esensi mahasiswa diharap mampu menjadi fenomena yang menunjukan nilai-nilai manusia si pembelajar, tentu ini tidak ada kelonggaran bagi mahasiswa yang memperoleh dengan cara-cara pragmatis, orientasi mahaiswa sejak dini harus dipupuk seideal mungkin, karena kelengahan dan pembiaran orientasi menandakan kekacauan berfikir, sehingga menimbulkan dampak ketidakpastian mahasiswa.[]
Penulis: Baqi Maulana Rizqi
Related Posts:
- Privatisasi BUMN dan SDA di Indonesia
- Mengenal Auguste Comte – Imam Besar Positivisme
- Review Aplikasi Medium: Fitur-Fitur Terbaik, Tips,…
- 9 Laptop Terbaik Tahun 2021
- Cahaya di Atas Cahaya
- Teknik Elektro dan Teknik Elektronika. 9 Hal Menarik…
- Agus S Sitompul: Saya Tidak Mengakui HMI MPO
- Siapakah Pembuat Ricuh Saat Nabi Sakit?