Membangun Demokrasi Yang Sehat dan Memerangi “Politik Uang”
Bagikan:
Demokrasi sebagai pilihan dalam mencapai kesejahteraan rakyat (tujuan), tidak seperti membalikan telapak tangan. Demokrasi harus dikonsolidasikan berdasarkan pilihan rakyat (pemilu). Konsolidasi demokrasi yang dilakukan juga harus disesuaikan dengan Sistem Pemerintahan yang dianut suatu negara. Mengapa demikian? Karena Pemilu sebagai implementasi suara rakyat, harus menghasilkan Sistem Pemerintahan Negara yang semakin efektif. Sistem Pemerintahan yang efektif akan lebih menjamin adanya kepastian bagi kesejahteraan rakyat yang lebih baik.
Sudahkah Pemilu pasca Reformasi 1998, pada tahun 1999, tahun 2004 dan 2009 ini menghasilkan suatu Pemerintahan Negara yang efektif ? Bergerak maju atau mundur? Seandainya maju, dalam hal apa? seandainya mundur, juga dalam hal apa? Judul tulisan diatas dimaksudkan untuk menjawabnya.
Indonesia, memasuki era demokrasi “yg sesungguhnya” dalam arti berkelanjutan, sejak adanya reformasi 1998, dimana setiap warga negara dijamin sepenuhnya utk berkumpul dan berserikat guna menyalurkkan aspirasinya, bebas dalam memilih, termasuk mendirikan Partai Politik. Walaupun banyak pihak yang memuji pemilu 1955 sebagai pemilu yang paling demokratis, namun disayangkan tidak berkelanjutan. Pemilu pasca reformasi 1998, yg sudah 3 kali setiap 5 tahunan, lebih menunjukan kesinambungannya. Nampak adanya konsolidasi demokrasi. Pemilu sebagai instrumen demokrasi, yang dilaksanakan setiap 5 tahunan melalui Undang Undang nya diarahkan untuk menghasilkan Pemerintahan yang semakin efektif.
Indonesia menganut Sistem Pemerintahan Presidential, Sistem ini lazimnya didukung oleh 2 Partai (gabungan partai) di Parlemen, ada Partai yang berkuasa dan ada Partai Penyeimbang. Presiden SBY sesungguhnya telah mencobanya, dengan perolehan suaranya dalam pilpres yang mencapai lebih dari 60 %, berusaha untuk mengkonsolidasikan kekuatan di parlemen (DPR) menjadi 2 kekuatan besar, agar jalannya pemerintahan semakin efektif. Namun faktanya, dengan pengalaman kasus “Bank Century” hal itu tidak terwujud.
Pemilu 1999 diikuti 48 Parpol yang masuk ke DPR ada 24 Parpol. Pemilu 2004 diikuti 24 parpol yang masuk DPR ada 16 Parpol. Pemilu 2009 diikuti 34 Parpol dan yang masuk DPR tinggal 9 Parpol. Hal ini terjadi karena adanya ketentuan persyaratan jumlah suara untuk mengikuti pemilu berikutnya dan adanya persyaratan jumlah suara untuk mendudukan wakilnya di Parlemen Oleh karena itu, sejalan dengan sistem pemerintahan Presidential, sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945, Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, yang dipersyaratkan harus menang lebih dari 50 % suara dengan tingkat penyebaran minimal 20% suara di lebih dari setengah jumlah Provinsi, maka sistem Pemilu legislatif harus diarahkan menghasilkan 2 kekuatan Partai (gabungan Partai) besar.
Bagaimana caranya? pertama, membatasi jumlah partai untuk dapat masuk DPR melalui kenaikan persyaratan jumlah suara untuk masuk DPR (Parliamentary Treshold) dari 2,5% menjadi sekurang kurangnya, misalnya 4 %. Dengan persyaratan ini dapat lebih dipastikan jumlah partai di parlemen akan berkurang, sesuai dengan pilihan suara rakyat (pemilu). Kedua, meningkatkan persyaratan jumlah suara partai (gabungan Partai) pada pemilu legislatif dalam mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, atau dengan cara membatasi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya ada 2 (dua). Persyaratan angka angka tersebut dicantumkan dalam UU pemilu legislatif dan Pemilu Pilpres.
Apabila persyaratan persyaratan tsb dapat dirumuskan dalam UU saat ini, maka Pemilu 2014, akan semakin menghasilkan pemerintahan yang efektif, yang dengan sendirinya jalannya roda pemerintahan akan lebih fokus, lebih stabil, dan cepat dalam pengambilan keputusan. Dengan persyaratan tersebut Presiden memiliki kekuasaan yang sangat kuat dalam menjalanlankan roda pemerintahan, di sisi lain Parlemen juga memiliki kekuasaan legislatif yang lebih efektif sebagai penyeimbang atau kontrol atas kekuasaan eksekutif. Sehingga ada korelasi antara Sistem pemerintahan Presidential dengan keberadaan partai partai di DPR. tidak seperti yang terjadi saat ini.
Demokrasi yang sehat, selain membutuhkan sistem atau kontruksi sebagaimana yang dirancang sebagai tujuannya. Juga membutuhkan adanya Partai Politik yang kuat. Partai politik yang dapat menjalankan fungsi fungsi partainya secara objektif bagi kepentingan rakyat. Pendidikan politik, Pengkaderan, Sosialisasi program, agregasi aspirasi publik dan rekruitmen untuk pengisian jabatan jabatan politik kenegaraan, menjadi ukuran. Apakah Partai tersebut menjadi semakin baik, sehat dan kuat di mata rakyat.
Maraknya perpecahan di dalam tubuh partai politik, semakin terbatasnya ruang gerak para aktivis dalam karir politik, semakin termarginalkannya para aktivis kritis, bermunculannya para selebritis, kehadiran pengusaha yang lebih mendominasi percaturan politik, tampilnya calon calon pemimpin yang memiliki kekuatan “materi” dalam proses politik. Hal ini nampak jelas di hadapan kita, tampilnya para peminpin hari ini adalah tampilan dari sosok kekuatan materi sang pemimpin itu sendiri.
Partai politik saat ini, tak ubahnya sebuah “perusahaan” yang sangat ditentukan oleh para pemodalnya, atau pemilik saham mayoritas. Maka tidak mengherankan kalau saat ini marak dengan “Politik Uang”. Politik uang yang saya maksudkan bukan semata dalam rumusan UU sebagai suatu “delik” perbuatan pidana atau pelanggaran, akan tetapi lebih pada pengertian “uang” yang paling dominan dan menentukan dalam proses politik, yang belum tentu itu sebagai tindakan melanggar hukum.
Kekuatan uang telah mendominasi seluruh proses perjalanan politik suatu partai, bahkan kekuatan uang telah mendominasi proses politik dalam hal rekruitmen hingga terpilihnya yang bersangkutan, Pada Pileg 2009, begitu pula pada Pilpres 2009, betapa banyaknya Uang yang dibutuhkan oleh para kandidat.
Tidak mengherankan kalau pada akhirnya jumlah “golput” semakin meningkat. “politik uang” semakin marak, selebritis dan pengusaha semakin dominan, dan “Incumbent” tetap dominan, karena mereka semua sudah memiliki modal “Materi-Uang” dan atau “popularitas tertentu”.
Partai politik yang seyogyanya sebagai penyalur dan pejuang aspirasi rakyat menjadi semakin pudar, karena Idealisme, patriotisme, militasi, dedikasi dan loyalitas terhadap rakyat juga semakin redup, dengan terhalangnya, terbatasnya ruang gerak para aktivis murni, para tokoh pergerakan, yang mereka bangun dengan begitu lama dan merangkak mulai dari dunia kampus dan organisasi massa kemasyarakatannnya, hingga ke jenjang yang lebih tinggi.
Sindiran dan kritikan pedas terhadap keberadaan Partai Politik yang terjadi selama ini, masih juga belum menunjukan hasl yang optimal. DPR sebagai lembaga representative masih belum menunjukan secara maksimal dan menyeluruh tentang “etika”, demikian halnya dengan” substansi” tentang konstitusi, hukum tata negara, hukum administrasi negara, ataupun substansi yang lebih tehnis berkenaan dengan “tupoksi” alat kelengkapan Dewan, masih banyak didapatkan kekurangan pemahaman tentang itu semua, walaupun melalui “pansus Century” masyarakat mulai memberikan reaksi yang positif.
Sorotan terhadap partai politik masih terus berlangsung, dan sepertinya tidak ada masalah apa-apa, ketika suatu partai politik mengajukan istri pertama dan istri kedua dari seorang bupati maju dalam pilkada di kabupaten yang sama, Istri dan anak dari Bupati sama sama maju jadi calon bupati, Suami-Istri dan Anak maju jadi anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten dari daerah yang sama, sejumlah” selebritis yang menghebohkan”, sampai “persyaratan sejumlah nilai nominal” untuk dapat dukungan Partai agar bisa maju jadi calon di pilkada.
Semuanya berujung pada Kekuasaan “Uang” , melalui kekuaasaan Uang, sesorang dapat melanggeng dengan leluasa menjadi calon calon pemimpin negara, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Akibatnya apa? Demokrasi menjadi tidak sehat, tidak “substansial” akan tetapi sekedar “prosedural”, yang hanya bisa ditempuh dan dipenuhi oleh para pemilik modal, pengusaha, Pejabat, atau Politisi yang berkolaborasi dengan itu semua. Bagaimana dengan para aktivis murni,kaum kritis yang kesehariannya bergelut dengan itu semua, sulit untuk bisa maju secara normal, terkecuali menjadi kaum “oportunis”. Oleh karena itu tepatlah diskusi kali ini mengangkat topik Demokrasi yang sehat dan “Politik Uang”.
Bagaimana mengatasi itu semua?
Pada bagian awal tulisan ini saya mengutarakan perlunya suatu “Pemilu” yang dari waktu ke waktu diarahkan pada tujuan tebentuknya suatu Sistem Pemerintahan Negara yang efektif, yakni sistem pemerintahan Presidential yang berkorelasi kuat dengan Kepartaian di Parlemen. Dan untuk mewujudkan itu semua, termasuk untuk mengurangi kadar “politik Uang” , harus ada intervensi Negara terhadap keberadaan Partai politik.
Intervensi ini dimaksudkan agar terwujud suatu partai yang kuat, sehat, yang memberikan kesempatan yang sama bagi setiap kadernya, tidak hanya dengan ukuran “Uang”, tapi juga mempertimbangkan integritas, moralitas dan kompetensinya. Tidak lagi sekedar prosedural tapi menjadi Substansial. Artinya keberadaan partai politik saat ini ( yang sudah 3 kali mengikuti Pileg, 2 kali pilres secara langsung, dan telah mengikuti ratusan pilkada Provinsi, kabupaten/kota), tidak bisa tumbuh dan berkembang dilepas begitu saja, terserah parati politik itu sendiri, akan tetapi sudah saatnya ada Intervensi negara terhadap kondisi Partai yang sudah “pragmatisme” seperti itu.
“Politik Uang” yang marak terjadi selama ini akan terus terjadi dalam tubuh partai politik, akibatnya demokrasi menjadi semakin tidak sehat, karena fungsi fungsi partai politik tidak bisa dijalankan secara benar dan maksimal. Partai politik dalam menjalankan roda partainya, belum lagi dituntut menjalankan fungsi partainya yang terbaik utk demokrasi dan untuk rakyat,Partai membutuhkan Pen”Dana”an yang tidak sedikit, Untuk dapat memenangkan suara di Pileg, Pilpres ataupun Pilkada membutuhkan biaya besar.
Dari mana dana itu semua? Berdasarkan pengalaman selama ini jumlah dana dan sumber pendanaan partai politik tidak pernah bisa dijelaskan kepada publik. Yang pasti tidak dari iuran anggota dan tidak dari APBN/APBD seperti yang dimaksud dalam UU no 2 tahun 2008. Lebih banyak dari sang Kandidat, atau sumbangan dari pihak ketiga (perusahan atau badan usaha) yang dalam prakteknya disinyalir atau berpotensi terjadinya kolusi pasca Pemilu atau pilpres.
Disinilah awal atau potensi terjadinya politik uang, yang bisa dipergunakan oleh elite partai yang punya “uang” atau menukar otoritas partai yang dimilikinya dengan sejumlah uang bagi pihak yang ingin maju atau jadi sponsor bagi seseorang calon atau kandidat. Politik uang” selanjutnya adalah yang jelas jelas melanggar hukum, yakni dengan memberi uang kepada para pemilih untuk memenangkan kandidatnya.
Kehidupan demokrasi dan Politik uang seperti ini harus segera diatasi, dengan adanya Intervensi Negara terhadap pendanaan Partai Politik secara lebih signifikan melalu kucuran dana APBN dan APBD yang besarannya untuk setiap Partai Politik berdarsarkan Suara rakyat dalam Pemilu. Tidak seperti yang terjadi selama ini “kucuran” ala kadarnya sebatas memenuhi kewajiban Undang-Undang’.
Melalui Intervensi Negara ini diharapkan terbangun Partai Politik yang sehat, yang terbebani untuk menjalankan fungsi fungsi partai nya secara benar dan maksimal dan ada sanksi apabila dana nya dipergunakan tidak sesuai peruntukannya. Para aktivis murni, maupun kaum kritis akan bisa melenggang dengan kesempatan yang sama, untuk bersaing dengan para politisi “pengusaha” atau pemilik “uang”.
Namun itu semua, akan semakin bisa lebih cepat dan lebih baik dan mungkin mulya, apabila dalam situasi seperti ini tampil sosok pimpinan partai yang bersungguh sungguh objektif, jujur, benar dan maksimal dalam menjalankan fungsi fungsi partai tersebut, utamanya dalam promosi, pengkaderan dan penetapan kadernya berdasarkan kriteria yang terukur dan berorientasi kepada kepentingan rakyat.’
Oleh : Agun Gunandjar Sudarsa
Anggota Komis II dan Baleg DPR RI 09-14.