Kepedulian Sosial Mahasiswa terhadap Bencana

Gerakan jalanan berupa aksi demonstrasi sebagai manifestasi dari pembelaan kaum lemah yang dalam hal ini adalah rakyat, akhir-akhir ini justru menimbulkan polemik tersendiri di masyarakat. Aksi yang tidak lain sebagai respon terhadap agenda-agenda kebijakan pemerintah yang acapkali menjadikan rakyat sebagai korbannya dewasa ini dianggap sudah tidak nge-trend lagi sebagai gerakan. Padahal sejarah mencatat bahwa setiap kali terjadi gelombang perubahan sosial di negeri ini, tidak luput dari gerakan mahasiswa.

Gelombang reformasi (1998), misalnya, kaum intelektual harus terpaksa turun jalan menggelar aksi, berorasi menyampaikan tuntutan rakyat. Bahkan, ribuan mahasiswa lainnya justru berhasil menguasai gedung DPR/MPR di Jakarta serta menyandera lembaga-lembaga penyiaran seperti Radio Republik Indonesia (RRI). Hasilnya, sosok jenderal yang hampir selama 32 tahun lamanya berkuasa, tumbang ! Sedangkan tata pemerintahan dan pranata sosial lainnya berangsur-angsur mengalami perubahan yang cukup drastis.

Popularitas gerakan mahasiswa lewat aksi demonstrasi saat ini sudah tidak ada taringnya dan tidak efektif lagi, karena disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama; aksi demonstrasi dianggap sebagai gerakan “latah” yang membosankan. Melihat aksi-aksi yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa berakibat timbulnya sikap apatis, tidak respon, dan menimbulkan kejenuhan bagi masyarakat.

Meski mahasiswa menganggap aksi demonstrasi yang dilakukannya adalah jalan terakhir yang harus ditempuh, namun karena frekuensi demonstrasi yang kerap dilakukan, justru berimbas buruk terhadap citra gerakan mahasiswa. Di sana ada aksi, di sini juga aksi. Sedangkan kemarin aksi dilakukan sekelompok mahasiswa “berlabel” jas kuning, hari ini “jadwal” aksi kelompok organisasi A, besok kelompok organisasi C, dan seterusnya. Ini akan menimbulkan kejenuhan terendiri bagi publik.

Sementara obyek dari kemarahan aksi mahasiswa, yakni pemerintah atau lembaga aparatur negara lainnya terasa sudah dungu, budeg, dan tuli atas berbagai kritikan massa. Ironisnya, kendati berbagai kritikan tajam dilontarkan mahasiswa namun kebijakan-kebijakan yang tidak pro-rakyat tetap saja diputuskan, diberlakukan pemerintah.

Kedua; demonstrasi yang berujung anarkis. Tentu kita semua tidak suka melihat aksi yang dilakukan mahasiswa berujung anarkis, seperti pembakaran ban bekas, perobekan bendera maupun pembakaran foto pejabat negara hingga pemblokiran jalan yang dapat merugikan para pengguna jalan. Potret tersebut terlihat jelas terutama saat kita menyaksikan siaran televisi, maupun lumrah terpampang sebagai headline media masa cetak (koran atau majalah).

Dari gambaran seperti itu dapat kita lihat, betapa idealisme mereka (baca: mahasiswa) telah luntur. Yang ada hanyalah sikap emosional serta kemarahan yang dipicu panasnya terik matahari yang menyengat kulit mereka saat orasi. Juga, karena adanya provokasi-provokasi yang memancing mereka untuk berbuat onar.

Ketiga; aksi yang ditumpangi kepentingan-kepentingan politik. Biarpun tidak semua aksi jalanan selalu ditumpangi kepentingan politik oleh beberapa gelintir orang (oknum politisi), namun fenomena tersebut dapat memberikan esensi buruk terhadap aksi-aksi lain yang memang murni diusung oleh mahasiswa. Aksi yang sarat dengan kepentingan politik akan merusak citra gerakan mahasiswa yang benar-benar murni mengusung suara rakyat. Dampaknya, setiap kali aksi demo selalu mendapat “cap” sebagai aksi yang ditumpangi oleh kepentingan politik.

Dari ketiga faktor di atas, di satu sisi melahirkan persepsi negatif masyarakat terhadap gerakan yang dilakukan mahasiswa. Masyarakat melihat, seolah-olah aksi yang digelontorkan mahasiswa adalah inteprestasi dari “suara hati” para (oknum) politisi untuk meng-counter kebijakan penguasa. Publik juga merugi atas ulah para pendemo yang suka memblokir jalan dan berakhir ricuh. Akibatnya, rakyat menjadi apatis, pesimis dan bosan atas aksi-aksi yang dilakukan para aktivis kampus itu.

Sedangkan disisi lain, kekritisan para aktivis mahasiswa sendiri semakin lama semakin luntur dan kabur dari orientasi sesungguhnya. Mereka mengalami disorientasi dalam gerakannya dan seringkali dianggap oleh berbagai kalangan sebagai gerakan yang berada persimpangan jalan. Malah kebanyakan dari mereka, memilih apatis, tidak mau tau terhadap problema bangsa dan lebih memilih fokus pada kuliah mereka. Studi oriented dijadikan pilihan yang tepat untuk segera meraih gelar kesarjanaannya, meskipun setelah sarjana akan menambahi jumlah pengangguran “berlabel sarjana” di negeri ini.

Perlu Gerakan “Alternatif”

Untuk menyikapi persoalan ini, tentu dibutuhkan sebuah pemikiran yang cemerlang namun tetap berorientasi pada nasib rakyat. Yakni, mereka, kaum termarginalkan oleh berbagai kebijakan penguasa serta pemilik modal. Kemiskinan, keterbelakangan, keterbatasan akses pendidikan, ketidak-adilan serta ketidak-berdayaan adalah “suguhan” yang mau tidak mau harus mereka terima meskipun membosankan. Mungkin lebih membosankan ketimbang mengamati aksi demonstrasi yang dilakukan para aktivis dalam membela mereka. Lalu, apa jalan alternatif untuk selalu bisa membela kaum piggiran tersebut ?

Demonstrasi, sebagai aksi jalanan yang kerapkali dilakukan para aktivis sejatinya memang apik dan patut dilakukan. Dampaknya pun sangat luar biasa hebatnya. Apalagi sejarah pernah mencatat, mahasiswa selalu saja hadir dan dibutuhkan dalam setiap masa terutama sebagai agen perubahan sosial. Oleh sebab itu, tidak salah jika sampai saat ini kebanyakan dari para aktivis menyebut dirinya dengan: the agent social of change, yakni mahasiswa sebagai agen perubahan.

Namun karena jalan untuk membela kaum marginal kini telah “tercoreng”, dan kritikan yang kita sampaikan kepada penguasa pun terasa sia-sia, tidak didengar apalagi ditanggapi. Maka alternatif yang diperlukan adalah dengan melakukan pendampingan (advokasi) serta pemberdayaan rakyat.

Advokasi sangatlah diperlukan oleh masyarakat terutama masyarakat pesisir maupun masyarakat tani di pedesaan untuk berjuang melawan kemiskinan dan kebodohan. Gerakan ini saya nilai sebagai gerakan riil dan benar-benar konkrit yang dapat menyentuh langsung lapisan masyarakat. Kita dapat lebih bebas menentukan daerah mana yang akan kita “garap” dan akan lebih fokus melakukan pendampingan. Kita nantinya juga akan memahami apa saja kebutuhan-kebutuhan yang mereka perlukan. Mana yang lebih dahulu kita kerjakan, dan mana yang akan menjadi tugas berat (PR) kita.

Dalam hal ini, kita memang tidak ingin dipuji bak sinterklaus atau sesosok dewa yang datang dengan memberikan berbagai macam bantuan kepada rakyat. Kita juga tidak memiliki materi yang cukup untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat. Akan tetapi, minimal dapat membantu dengan mencurahkan pikiran kita untuk mereka. Untuk keperluan pembangunan sosial, ekonomi, agama bahkan segala dimensi. Dengan adanya mahasiswa di tengah-tengah masyarakat, maka mereka lebih memiliki spirit untuk mengembangkan dan membangun kehidupan yang lebih baik.

Kepedulian Sosial Mahasiswa

Tampilan lain gerakan mahasiswa adalah berwujud pada kepedulian sosial. Hal ini merupakan bukti nyata mahasiswa dengan memberikan kepeduliannya terhadap rakyat, para korban bencana. Terlepas dari gerakan yang terorganisir, gerakan peduli bencana ini akan sangat menyentuh hati dengan sendirinya. Rasa prihatin dan ingin membantu pasti muncul secara tiba-tiba, spontanitas dan merangsang kita untuk bergerak. Baik bergerak secara terorganisir, maupun bergerak secara mandiri. Betapa tidak, bencana yang akhir-akhir ini menimpa tanah air sejak sebulan lalu (Oktober) adalah banjir Wasior di propinsi Papua, kemudian bertubi-tubi adanya gempa dan tsunami di kepulauan Mentawai, serta erupsi Merapi yang mengakibatkan masyarakat sekitar gunung Merapi yakni Jawa tengah-DIY harus dievakuasi (diungsikan) ke zona aman 20 Km dari Merapi.

Atas terjadinya bencana yang datang dengan tidak “mengetuk pintu” terlebih dahulu, secara tiba-tiba sangat merepotkan proses evakuasi dan penyelamatan. Sangatlah tidak mungkin personal (polisi, TNI, SAR) bantuan pemerintah dalam waktu sekejap mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik. Kecuali dibantu oleh warga, para penyelamat, relawan dan juga mahasiswa. Sekali lagi, dalam hal ini mahasiswa turut berperan !

Peran mahasiswa dalam hal ini akan lebih riil, lebih konkrit dari gerakan-gerakan jalanan yang kerapkali dilakukannya. Di saat para korban sangat memerlukan uluran tangan kita, mahasiswa justru “rela” meninggalkan waktu kuliah mereka, terketuk hatinya untuk menjadi relawan di tengah-tengah bencana. Dengan niatan ikhlas dan tulus, mereka hadir membantu para korban dengan melakukan evakuasi, membantu memberikan pengobatan, membantu menghilangkan trauma pada anak-anak, hingga proses pendataan bagi para korban.

Sementara itu, lagi-lagi jalanan sebagai “teman” dalam pembelaan terhadap rakyat korban bencana, sebagian dari mereka (baca: mahasiswa) dengan pantang menyerah, melawan panasnya terik matahari menyodorkan kardus-kardus warna coklat di traffic light, bertuliskan: “bantulah korban bencana alam”. Hasilnya, uang receh, ribuan, bahkan ratusan ribu berangsur-angsur masuk, mengisi kotak kosong berwarna coklat yang mereka bawa.

Sedangkan sebagian mahasiswa lagi sibuk mengumpulkan pakaian-pakaian bekas, namun layak pakai. Selain mengetuk pintu kamar kos teman-temannya, mereka juga tidak segan-segan menyambangi rumah warga sekitar kampus mereka dengan berkata: “Pak, Bu, menawi wonten pakaian ingkang sampun mboten diagem, badhe kula suwun kapureh kangge bantuan korban bencana”.

Fenomena yang dilakukan mahasiswa tersebut adalah sebuah kepedulian sosial yang dilakukan secara ikhlas dan murni sebagai panggilan hati nurani. Barangkali kemurniannya melebihi kemurnian nurani untuk turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi untuk menyuarakan kepentingan rakayat. Begitu pula dengan pekerjaan yang disandangnya merupakan pekerjaan sosial yang bermuara dari buah tanggungjawab sosial sebagai mahasiswa. Tugasnya lebih konkrit dan tepat sasaran: korban bencana ! Semoga tugas mulia yang dilakukannya kelak mendapatkan balasan-Nya. Amin.

Didik Tri AtmajaKetua PMII Komisariat Wahid Hasyim, 2009,alumnus HI Universitas Wahid Hasyim Semarang