4 Perawi Hadits Menurut Imam Ali

Sebagaimana diketahui, hadits merupakan wahyu dalam bentuk lain di samping Al Qur’an. Fungsinya sebagai penjelas segala hal yang dalam Al Qur’an tidak dirinci. Sehingga wajarlah jika Rasulullah mengatakan keduanya sebagai pedoman bagi umat Islam.

Namun, periwayatan hadits tidak sama dengan periwayatan ayat-ayat Al Qur’an, bahkan Nabi pernah melarang hadits dihafalkan. Penghafal hadits juga tidak sebanyak penghafal Al Qur’an, dan pencatatan hadits tidak seketat pencatatan wahyu Al Qur’an. Selain itu, seiring perjalanan waktu ada saja orang yang berkata mengatasnamakan Rasulullah.

Khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib menyebutkan ada empat (4) jenis rawi (orang yang meriwayatkan) hadits. Penjelasan itu ada dalam kitab Nahjul Balaghah yang berisi himpunan surat-surat, khutbah dan perkataan keponakan sekaligus menantu Rasulullah tersebut.

Tipe Pertama

Orang munafiq yang menampakkan diri beriman, beralam islami, enteng dan tidak segan-segan berbuat dosa, berdusta (memalsu hadits) secara sengaja atas nama Rasul. Mereka berkata “Sahabat Rasulullah melihat dan mendengar dari Rasulullah dan mencontoh (mengamalkan)-nya,” dan . celakanya, orang-orang pun menerima hadits palsu tersebut.

Tipe Kedua

Orang-orang yang mendengar dari Rasulullah, namun tidak mampu menjaganya (tidak kuat hafalannya). Karena kelemahan inilah, bisa saja mereka tidak sengaja berdusta atas nama Rasulullah, karena ingatan yang kurang baik menjadikan apa yang mereka ingat berbeda dengan apa yang disampaikan Rasulullah.

Andai saja orang-orang Muslim tahu kelemahan tersebut, hadits-hadits rawi seperti itu tidak akan diterima dan diamalkan. Juga jika saja si perawi itu sendiri yang menyadarinya, tentu akan ditinggalkannya pula ingatannya sendiri atas hadits Rasul.

Tipe Ketiga

Orang-orang yang mendengar Rasulullah bersabda kemudian meralatnya (sesuai petunjuk Allah), atau sebaliknya Rasulullah melarang sesuatu tetapi kemudian membolehkan atau memerintahkannya, tetapi orang tersebut tidak mengetahui ralat (nasikh) tersebut, sehingga tetap berpegang pada sabda pertama (ter-latat / mansukh).

Orang-orang tersebut berpegang pada yang pertama dan tidak tahu penggantinya. Andaikan mereka tahu, pasti ditolaknya. #Contohnya hadits mengenai nikah mut’ah, pernah dibolehkan, kemudian di-mansukh.

Tipe Keempat

Orang yang tidak berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya, mereka membenci kebohongan dan takut kepada Allah, memuliakan Rasulullah, juga mereka tidak tersalah dalam meriwayatkan hadits (kuat hafalan atau ingatannya).

“Dia menjaga (menghafal) apa yang mereka terima tanpa menambah-nambah atau menguranginya. Berpegang pada yang nasikh (aktual) dan mengamalkannya, mengetahui mana-mana yang telah mansukh dan menjauhinya. Tahu mana yang khas (khusus) dan mana yang ‘am (umum), serta menempatkan segala sesuatu sesuai tempatnya, tahu mana yang mutasyabih dan mana yang muhkamat.”