Kembali Pada Kearifan Jawa Melalui Puisi

Judul buku : Ziarah Tanah Jawa, Kumpulan Puisi 2006-2012
Pengarang : Iman Budhi Santosa
Penerbit : Penerbit Intan Cendekia
Terbitan : cetakan pertama maret 2013
Tebal : x + 128 halaman

Dalam bentangan sejarah, Iman Budi Santosa mengekspresikan karya sastranya dalam bentuk puisi. Ekspresi jiwa dalam perjalanan spiritual selama ini. Hiruk pikuk dan kebisingan dunia modern di tengah kehidupan manusia yang sedang mengalami krisis identitas dan krisis eksistensialnya, dan cendrung materialistis Iman Budi Santosa dengan kearifan lokalnya, melalui puisi yang telah diterbitkan dalam buku yang berjudul Ziarah Tanah Jawa hendak mencari jawaban, bahwa tidak ada jalan lain kecuali kembali. Yaitu kehendak terus mencari jati diri yang dalam istilah Jawa adalah Sangkan Paraning Dumadi, dari mana dia berasal, dengan apa ia mengada dan kemana akan berakhir.

Tidak bisa dipungkiri bahwasanya, Wong Jawa anggone semu, sinamun samudana, sesadone ing adu manis. Artinya orang Jawa cendrung semu atau terselubung, menutup kata-katanya apik dan tersamar, masalah apapun dihadapi dengan muka manis. Makna yang lebih luas yang dimaksud adalah seperti halnya isbat  yang sering didendangkan ki dalang, yaitu pergulatan mencari jati diri dibalik simbol atau pertamsilan. Karena dunia pasemon (nalar simbolis) orang Jawa adalah lelakon, untuk menemukan hakikat kedirian, dengan berpikir bijak dan olah batin (spiritual) yang cendrung bersifat simbolik, penuh sanepa, kiasan dan perlambangan. Semuanya itu berkecimpung dengan olah batin, dalam terminologi Abdul Karim al-Jilli disebut potensi ruhani (ruhiyah robbaniyah). Sehingga terminal terakhir yang didatangi manusia adalah berupa perjumpaan dengan Tuhan (Manunggaling kawulo Gusti). Drajat ini bisa diraih oleh manusia sempurna (insan kamil).

Ajakan ziarah kembali ke tanah (kearifan) Jawa oleh IBS ini menjadi obat penawar bagi kesadaran manusia modern (untuk orang Jawa sendiri), tentang bahasa dan kata-kata yang kian hari kian berhamburan di media massa, hiruk pikuk politik dan kekuasaan, yang kerap dipandang menentukan besar kecil perbuatan yang dilakukannya. Sehingga siapapun yang gagal melewati nalar simbolis, maka ia akan tenggelam dalam pemahaman Wong Jawa ora nJawani (Jawa yang tidak melakoni ke-Jawa-annya).

Kedua, pusi pembuka ziarah tanah jawa ini sebuah manifesto yang mengejutkan di tengah-tengah nasib selintir perpuisian kita yang paling mutakhir yang cendrung mengalienasi diri kita dari menjadi manusia seutuhnya, lahir dan batin. Betapa banyaknya puisi kini yang hanya seperti puisi, puisi yang terjebak hanya dalam permainan bunyi dan diksi semata, sekedar menonjolkan sensualisme bahasa yang akrobatik yang sepi dengan makna.

Karenanya puisi-puisi yang IBS yang telah dibukukan dalam bentuk buku yang berjudul ziarah tanah jawa dalam bentuk perlawanan zaman. Seperti dalam kutipan puisi berikut ini:

Maka, aku tak akan memainkan gelap terang
Dalam puisi dan membuat tercengang
Aku hanya mendendangkan tembang
Ketika lebah kumbang datang dan pergi
Menghisap madu dan terang

Terlebih dari semua itu, seni hanya untuk seni sendiri. Puisi yang hanya berlaku kepada mereka yang hidup di dalamnya, yang entah untuk siapa ia tulis puisi itu, karena hening makna batin, baik dalam konteks spiritual individual maupun sosialnya, ia mungkin semacam pameo “Yang bukan penyair ambil bagian”. Sebuah ironi yang tampak mirip dengan gambaran karya Yunani, Tuhan yang tak dikenal. Kita tahu bahwa Dia ada, tetapi karena ia jauh dan sukar dipahami, maka pengetahuan atas-Nya pun menjadi kuasa yang sok saja.

Selanjutnya puisi-puisi yang tercatat dalam tinta emas sejarah, tidaklah lahir dari kekosongan budaya, dan canggihnya akrobatik bahasa. Namun puisi-puisi itu langsung berhubungan dengan proses membangun makna hidup dalam konteks pribadi maupun sosial, baik dalam ruang temporal maupun prennial. Puisi yang berjudul Ziarah Tembuni bait pertama: berkaca pada lantai pendapa, malam wangi wijayakusuma// keriput uban serentak melawan, karena di sudut// dekat pot bunga berlumut, saudaraku// tembuni yang ikut serta dari gua garba bunda// masih tersimpan aman dan patut.

Selanjutnya pada bait ke 3 yang berbunyi: tetapi engkau merasa jadi tamu..// padahal, di sana masih ada makam leluhur// ada nisan kayu ditatah dengan goresan paku//mereka tak penah lupa siapa anak cucu// yang dulu nakal, suka mencuri ketela// dan membakarnya malam-malam saat bulan puasa// maka seperti terbangun dari mimpi, kucabuti rumput teki// yang berakar pada dahi mereka, yang menjalar// menatap nama yang pernah mendongengkan kisah nabi// ramayana hingga mahabarata.

Buku Ziarah Tanah Jawa ini mengajak kita untuk bangkit dan mengingat kembali pada tanah kelahiran. Kembali menjadi orang Jawa beneran bukan Jawa sing ora njawani. Laku spiritual yang dituangkan dalam bentuk puisi oleh Iman Budi Santosa sangat menggugah ke dalam rohani sebagaimana semestinya orang Jawa, selain itu juga mampu mengangkat kembali pemikiran-pemikiran orang jawa tempo dulu. Kemasan kata yang menghiasi pusi dalam buku tersebut, membuat kita tercengang, bahasanya amat lugas dan bersahaja.

Peresensi : Moh. Fuad Hasan

HMI Komfak Dakwah UIN Sunan Kalijaga