Islam dan Multikulturalisme

Islam dan Multikulturalisme

Bagikan:

Multikulturalisme merupakan benteng utama agama-agama di dunia saat ini, mengingat setiap agama sesungguhnya muncul dari kondisi lingkungan dan kebudayaan yang plural. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang sangat multikultural sebab negeri ini terdiri atas etnis, bahasa, agama, budaya dan sebagainya yang berbeda-beda. Keanekaragaman tersebut dirumuskan dalam bentuk simbol “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya Berbeda tapi tetap satu.

Menurut DR. M. Hatta, kebudayaan adalah ciptaan hidup dari suatu bangsa. Sedangkan menurut E.B. Taylor, Bapak Antropologi Budaya, mendefinikan budaya sebagai ”Keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan atau kebiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh anggota-anggota suatu masyarakat.” Multikulturalisme adalah keberanekaragaman dari budaya yang ada di suatu negara.

Islam Multikultural

Multikulturalisme adalah kesediaan menghimpun berbagai kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Dalam konteks tersebut, memperbincangkan diskursus Islam multikultural di Indonesia menemukan momentumnya. Sebab, selama ini Islam secara realitas seringkali ditafsirkan nonmultikultural.

Padahal, di Nusantara realitas Islam multikultural sangat kental, baik secara sosio-historis maupun glokal (global-lokal). Secara lokal, misalnya, Islam di nusantara dibagi oleh Clifford Geertz dalam trikotomi: santri, abangan dan priyayi; atau dalam perspektif dikotomi Deliar Noer, yaitu Islam tradisional dan modern; dan masih banyak lagi pandangan lain seperti liberal, fundamental, moderat, radikal dan sebagainya.

Secara sosio-historis, hadirnya Islam di Indonesia adalah berdasarkan gerakan saudagar muslim yang berlabuh di Pasai (Aceh) dan selanjutnya di teruskan ke Jawa oleh walisongo. Selanjutnya, menjadikan Islam multikultural sebagai topik atau wacana masih menarik dan perlu disebar-luaskan. Hal ini setidaknya karena tiga alasan.

Pertama, situasi dan kondisi konflik. Di tengah-tengah keadaan yang sering konflik, Islam menghendaki terwujudnya masyarakat Islam yang cinta damai, harmonis dan toleran. Karenanya, cita-cita untuk menciptakan dan mendorong terwujudnya situasi dan kondisi yang damai, tertib dan harmonis menjadi agenda penting bagi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Di tanah air, kasus konflik sosial di Poso, Ambon, Papua dan daerah lain merupakan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan bersama.

Kedua, realitas yang bhinneka. Ke-bhinneka-an agama, etnis, suku, dan bahasa menjadi keharusan untuk disikapi oleh semua pihak, terutama umat Islam di Indonesia. Sebab, tanggung jawab sosial bukan hanya ada pada pemerintah tapi juga umat beragama. Dengan lain kata, damai-konfliknya masyarakat juga bergantung pada kontribusi penciptaan suasana damai oleh umat beragama, termasuk kaum Muslimin di negeri ini. Robert N. Bellah, sosiolog agama dari Amerika serikat, mengatakan bahwa melalui Nabi Muhammad SAW di Jazirah Arab, Islam telah menjadi peradaban multikultural yang amat besar, dahsyat dan mengagumkan hingga melampaui kebesaran negeri lahirnya Islam sendiri, yaitu Jazirah Arab. Pada konteks ini, toleransi dan sikap saling menghargai karena perbedaan agama, sebagaimana diungkap Wilfred Cantwell Smith, perlu terus dijaga dan dibudayakan.

Ketiga, norma agama. Sebagai sebuah ajaran luhur tentu agama menjadi dasar yang kuat bagi kaum agamawan pada umumnya untuk membuat kondisi agar tidak carut-marut. Dalam hal ini, tafsir agama diharapkan bukan semata-mata mendasarkan pada teks, tetapi juga konteks agar maksud teks bisa ditangkap sesuai makna zaman. Perdebatan antara aliran ta`aqqully yang mendasarkan pada kekuatan rasio atau akal dan aliran ta`abbudy yang menyandarkan pada aspek teks telah diwakili oleh dua aliran besar, yaitu Mu`tazilah dan Asy`ariyah, bisa menjadi pelajaran masa lalu yang amat menarik.

Konsep Multikulturalisme sangat urgen untuk dikupas lebih detail karena dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa :

1. Perlu adanya sosialisasi bahwa pada dasarnya konsep setiap agama menyebarkan berita damai bagi seluruh umat manusia.

2. Wacana agama yang toleran dan inklusif merupakan bagian yang menyatu dari ajaran agama itu sendiri, sebab kebhinnekaan, semangat toleransi dan inklusivisme adalah hukum Allah atau Sunnatullah yang tidak bisa diubah dan ditutup-tutupi. Dalam Al Qur’an, Allah pun secara tegas menyatakan bahwa:

“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia jadikan kalian umat yang satu, akan tetapi (dengan kenyataan tersebut, yaitu umat yang tidak satu) Dia hendak menguji kalian terhadap apa yang Dia berikan kepada kalian, maka berlomba-lombalah dalam kebaikan” (Al Maidah: 48).

3. Adanya kesenjangan yang jauh antara cita-cita ideal agama-agama dan realitas empirik kehidupan ummat beragama di tengah masyarakat.

4. Semakin menguatnya kecenderungan eksklusivisme dan intoleransi di sebagian ummat beragama yang pada gilirannya memicu terjadinya konflik dan permusuhan yang berlabel agama.

5. Perlu dicari upaya-upaya untuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan kerukunan dan perdamaian antar ummat beragama.

Konsep multikulturalisme adalah hakikat kehidupan manusia yang harus disyukuri dan ini adalah bentuk rahmat Tuhan yang maha Esa, hanya saja prinsip-prinsip itu sering tercemari oleh perilaku-perilaku radikalisme, eksklusivisme, intoleransi dan bahkan “fundamentalisme.” Hal ini dapat diatasi apabila kita bisa menjadikan iman dan taqwa berfungsi dalam kehidupan yang nyata bagi bangsa dan negara.

Bila iman dan taqwa itu telah berfungsi dalam kehidupan kita masing-masing dan agama telah berfungsi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, maka perilaku-perilaku radikal, ekseklusivisme, intoleransi dan “fundamentalisme” akan terhindar dari diri ummat beragama dan kita akan menjalani hidup yang penuh dengan kebersamaan dan persaudaraan. Dengan demikian akan tercipta keharmonisan hidup berbangsa dan bernegara dan terhindar dari konflik-konflik yang bernuansa agama.

Ferizal Mukhtar, Sekretaris Umum HMI MPO Komisariat Mercu Buana