Etika pada prinsipnya merupakan bagian filsafat yang menjiwai semua disiplin ilmu termasuk politik. Politik tidak hanya membutuhkan etika teoretissebagai pemberi rambu-rambu, tetapi juga etika praktis. Politik sebagai seni kekuasaan (memperoleh kekuasaan, berkuasa, dan mempertahankannya) harus mempertimbangkan aspek etika guna memastikan prinsip aksiologisnya bernilai humanis tinggi. Apabila tidak demikian, maka praktik politik selalu akan bertentangan dengan tujuan negara seperti yang diamanatkan konstitusi. Perspektif inilah yang menguatkan artikel Daoed Joesoef, ”Berpolitik dengan Etika” (Kompas, 14-2-2013).
Anjuran Daoed Joesoef amat penting dicermati, terutama karena dimulai dengan memberi tekanan khusus terhadap intelektual dan kaum terdidik. “Tindakan penyelamatan partai yang diambil SBY … adalah drama politik yang perlu direnungi para intelektual dan kaum terdidik di negeri ini.” Sekujur tubuh bacaan yang beliau sajikan memberikan pencerahan mengenai praktik berpolitik yang harus mengindahkan kaidah-kaidah etik. Oleh sebab pelaku politik dalam praktik-praktik politik adalah para politisi, maka etika politisi memang pantas menjadi titik tekan. Hal mana telah beliau paparkan dengan jelas. Namun demikian, posisi intelektual dan kaum terdidik juga membutuhkan penekanan di tempat lain, sebab peran intelektual dalam mewujudkan etika politik dapat dikatakan sangat signifikan.
Etika Politisi
Etika di era modern merupakan jawaban atas dampak-dampak yang ditimbulkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dalam perspektif modernitas. Hans Kung (1995) mengemukakan pentingnya suatu etika global yang dapat menghimpun seluruh materi etik dari berbagai sumber teologi maupun budaya guna mengatasi derasnya tuntutan industrialisasi yang menuntut pertumbuhan ekonomi sambil mengabaikan banyak kepentingan makhluk, kelangsungan peradaban manusia, serta masa depan bumi tempat hidup manusia.
Hanya bermaksud memberikan penguatan atas artikel Daoed Joesoef, tulisan ini perlu meringkas beberapa pokok pikiran beliau tentang etika politik dalam nuansa praksisnya, maka dalam tulisan ini disebut etika politisi. Pertama, beliau menyatakan bahwa “Etika yang dengan sadar dipasang dalam politik merupakan kendali terhadap kecenderungan alami berpolitik menjadi politicking yang serba liar dan rakus.” Politik sebagai bagian fitrawi bermasyarakat seyogianya mendinamisasi proses pendewasaan publik dalam mencapai suatu ruang kekuasaan secara terhormat. Namun yang terjadi adalah pembajakan politik dan menciderai kontrak-kontrak bernegara melalui praktik politicking.
Kedua, “Banyak tindak-tanduk elite partai yang tidak menunjukkan sikap kedewasaan berorganisasi.” Politisi pada hakikatnya sedang mengemban suatu misi pendidikan publik dalam konteks kekuasaan, baik upaya pemerolehan, pengelolaan, hingga upaya mempertahankannya. Sikap yang disorot oleh Daoed Joesoef tentu amat potensial membawa surut bangsa ini jauh ke belakang.
Ketiga, “Penertiban agar tak merangkap jabatan . . . tak mungkin dituntaskan perhatian terbelah.” Pengendali jalannya proses politik dan pemegang tampuk kebijakan eksekutif memang pada tempatnyalah untuk dapat memusatkan perhatian pada penertiban-penertiban jabatan terutama yang memungkinkan timbulnya conflict of interest dengan segenap eksesnya.
Keempat, “Politikus dan parpol terang-terangan mengeksploitasi ketidaktahuan rakyat dalam berpolitik dan berdemokrasi.” Praktik inilah yang memegang ‘saham’ paling banyak dalam proses pembodohan publik dan bertentangan dengan semangat konstitusi negara, “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Sekolah untuk masyarakat didirikan sambil membiarkan politisi menumpulkan kecerdasan publik.
Sangat pantas memberi apresiasi dan dukungan terhadap upaya menghidupkan kembali gagasan etika politik ini guna menjawab stereotip yang keliru mengenai posisi etika dalam berbagai profesi dan aneka peran sosial. Stereotip tersebut kadang meringkas konsep etika sebagai sesuatu yang wajar jika berjarak dengan para politisi. Etika dalam benak pelaku politik serta para pendukungnya – bukan dalam konsep-konsep dan teori – selalu tampil asing dalam lapangan politik praktis. Akibatnya, segala perilaku politik yang menyimpang dari nilai etik universal sebagaimana dicontohkan oleh Daoed Joesoef tidak pernah secara serius mengusik para politisi atau pendukungnya.
Mencerabut etika dari praktik politik merupakan tindakan amat berbahaya sebab politik merupakan penyedia instrumen menuju pemerolehan otoritas kebijakan publik. Semua warga masyarakat bergantung kepada otoritas tersebut. Selain itu, penguasaan atas kebijakan publik tersebut amat menentukan arah kemasyarakatan dan eksistensi negara di masa depan.
Tanggung Jawab Intelektual; Suatu Kritik
Tulisan tersebut sudah pada tempatnya dialamatkan kepada politisi, sebagai suatu bentuk tanggung jawab intelektual penulis dan gugatan terhadap intelektual lainnya. Gagasan tentang tanggung jawab intelektual ini sebenarnya sudah sangat lama masuk dalam catatan ilmiah dan dapat ditelusuri ke konsep-konsep era klasik. Sejarah jelang tercetusnya Renaissance juga menggambarkan dengan baik peran-peran ilmuan yang sungguh-sungguh telah menjalankan tanggung jawab intelektualnya, seperti Nicolaus Copernicus hingga Galileo Galilei.
Pemikir era modern pun demikian, seperti Bertrand Russell (1956), namun lebih menggaung di tangan Noam Chomsky (1967), tatkala menegaskan bahwa “tugas kaum intelektual itu tidak hanya menyingkap kebohongan penguasa, melainkan sejauhmana keterlibatan di dalamnya dan bagaimana menghentikannya.”
Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa intelektual bukan suatu kelas sosial yang eksklusif dan haram menyentuh urusan-urusan sosial dan politik. Ini berlaku terhadap semua intelektual, baik yang sudah sambil menjadi politisi, maupun yang belum atau tidak. Intelektual dalam pengertian yang masyhur dipahami dalam masyarakat Indonesia adalah akademisi dan ilmuwan yang menggeluti teori-teori dan penelitian-penelitian, atau kaum terdidik yang menempuh jenjang-jenjang pendidikan formal. Namun lebih dalam dari itu, intelektual tidak hanya dicirikan hal-hal tersebut, melainkan diukur dari tanggung jawab dan kepedulian sosialnya. Bertrand Russell misalnya, mempersyaratkan seorang intelektual untuk hidup dalam denyut kehidupan rakyat sehingga merasakan suka dan dukanya, lalu bangkit melakukan pencerahan dan pembebasan.
Hal yang sama dinyatakan Ali Syariati dalam berbagai topik pembahasannya, bahwa intelektual menduduki posisi paling penting dalam peta sosial karena golongan ini memiliki ketercerahan. Namun, akan menjadi tumpul dan sia-sialah ilmu pengetahuan yang dimilikinya jika tidak digunakannya memihak kepentingan pembebasan kaum tertindas.
Ada satu hal yang perlu dikemukakan berkenaan dengan posisi kaum intelektual tersebut, yakni sebagai ideolog dan transformer, sekaligus menjadi martir sosial. Hal mana tentu sangat sulit dilakukan oleh person yang hanya berkualifikasi ilmuwan yang berfungsi memproduk teori-teori dan ilmu-ilmu baru. Intelektual harus tampil menjadi pembaharu tidak memilih era kekuasaan dan penguasanya.
Inilah sebabnya, di akhir tulisan ini hendak dinyatakan bahwa artikel Daoed Joesoef tersebut seyogianya sudah muncul dan terus menerus menggaung di era kekuasaan otoriter Orde Baru. Orde Baru yang tidak hanya memproduk peraturan-peraturan untuk suatu praktik yang tidak mencerdaskan atau gagal melakukan pendidikan politik rakyat, tetapi juga mengkooptasi para sarjana dan ilmuwan ke dalam jabatan-jabatan strategis guna melindungi kepentingan kekuasaannya yang despotis. Boleh jadi, pelaku politik saat ini adalah sebagian dari mereka yang hasilkan oleh suatu mesin pendidikan berdasarkan kebijakan Orde Baru yang ditukangi para ‘intelektual’ Orde Baru. Satu dari sekian banyak contohnya, adalah kebijakan NKK/BKK.
Syafinuddin Al-Mandari Direktur Sekolah Cinta Bangsa Jakarta, peserta Program Doktoral Pascasarjana Universitas Indonesia.