Misteri Puasa Sebelum Islam di Kalangan Masyarakat Jawa Terkuak

Bagikan:

Puasa Sebagai Bagian dari Tradisi Masyarakat Jawa Kuno

Puasa memang dikenal sebagai salah satu ibadah yang diwajibkan dalam agama Islam. Namun, siapa sangka bahwa praktik puasa juga telah ada dalam tradisi masyarakat Jawa sejak sebelum masuknya Islam ke Indonesia. Di masa Jawa Kuno, praktik puasa memang merupakan bagian yang penting dari ajaran hidup masyarakat Jawa.

Dalam tradisi masyarakat Jawa, terdapat beberapa ritual berpuasa yang menarik untuk dipelajari, seperti puasa mutih yang mewajibkan untuk menahan diri dari mengonsumsi makanan yang berkilauan warna putih. Kemudian ada puasa ngrowot yang dilakukan untuk memohon keselamatan dan keberuntungan, puasa pati geni yang menuntut untuk tidak menyalakan api, hingga puasa ngebleng yang dilakukan untuk menghindari gangguan makhluk halus.

Menurut penelitian Dwi Cahyono, seorang arkeolog dan sejarah dari Universitas Negeri Malang, kata “puasa” berasal dari bahasa Jawa Kuno dan bahasa Jawa Tengahan yang terdiri dari dua kata, yaitu “pasa” dan “upawasa”. “Pasa” berarti menahan atau menahan diri dari sesuatu, sedangkan “upawasa” berarti menjaga diri dari makan dan minum. Dalam bahasa Jawa Kuno dan bahasa Jawa Tengahan, kata “pasa” digunakan untuk merujuk pada praktik menahan diri dari sesuatu dalam konteks spiritual atau keagamaan. Sementara itu, kata “upawasa” digunakan untuk merujuk pada praktik menjaga diri dari makan dan minum dalam rangka upacara atau ritual keagamaan. Kedua kata ini kemudian digabungkan menjadi “poso” dalam bahasa Jawa modern, yang kemudian diadopsi menjadi “puasa” dalam bahasa Indonesia.

Terdapat pula kata-kata “pasa-brata” dalam naskah Kakawin Ramayana versi Jawa Kuno sebelum pemerintahan Mpu Sindok di Medang pada abad kesepuluh. “Pasa-brata” mengacu pada praktik menahan diri dari makan, minum, dan kegiatan lainnya yang dianggap mengganggu konsentrasi dalam menjalankan tapa atau meditasi. Dalam konteks Kakawin Ramayana, “pasa-brata” digunakan untuk menggambarkan praktik asketisisme yang dilakukan oleh para pertapa atau brahmana dalam mencapai kesucian dan mendekatkan diri pada dewa. Praktik “pasa-brata” juga ditemukan dalam beberapa kitab suci Hindu lainnya, seperti Mahabharata dan Purana.

Menurut Dwi, puasa atau tirakat adalah bagian penting dari kehidupan masyarakat Jawa Kuno. Di dalam karesian dan kadewaguruan, tapa menjadi salah satu materi pelajaran yang sangat penting untuk dipelajari. Tapa dapat diartikan sebagai suatu bentuk latihan spiritual yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kualitas hidup seseorang. Kemampuan ini sangat penting bagi seseorang yang akan terjun ke dunia nyata, karena tapa dapat membantu seseorang mengatasi tantangan dan hambatan dalam kehidupan sehari-hari.

Dwi menyatakan bahwa mengakar konsep puasa di tengah masyarakat Nusantara memudahkan diterimanya konsep puasa yang dibawa oleh penyebar agama Islam. Masyarakat Nusantara tidak terkejut lagi ketika diinstruksikan untuk menahan hawa nafsu sebagai bagian dari Rukun Islam. Tidak hanya itu, orang Jawa sudah memahami esensi dari puasa dengan baik. Bahkan, Wali Songo tidak menghapuskan tradisi lama, melainkan memperluas ajaran Islam sebagai agama yang memberikan rahmat bagi alam semesta.