Mentalitas Rapuh Gen Z: Fenomena atau Adaptasi Zaman?
Bagikan:
Di sebuah kafe yang penuh dengan anak muda di tengah kota, seorang remaja duduk diam menatap layar ponselnya. Sesekali ia tersenyum, lalu mengernyit, lalu kembali mengetik pesan dengan cepat. Dunia digital yang ia huni tak memiliki batasan fisik, tetapi jejak emosinya nyata. Ia adalah bagian dari Generasi Z—generasi yang lahir dan tumbuh dalam lanskap digital, di mana hubungan, identitas, dan kesehatan mental bersinggungan dalam cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Fenomena yang sering disebut sebagai “lemahnya mental” pada Gen Z telah menjadi perbincangan hangat dalam berbagai diskusi sosial dan akademik. Namun, apakah ini benar-benar kelemahan, atau justru bentuk adaptasi terhadap dunia yang semakin kompleks?
Tekanan Digital dan Paradoks Media Sosial
Generasi Z adalah kelompok pertama yang sejak lahir telah terpapar internet dan teknologi. Mereka tidak hanya mengonsumsi informasi, tetapi juga menciptakan serta membagikannya dalam ekosistem digital yang terus berkembang. Namun, di balik kemudahan akses ini, terdapat tekanan psikologis yang tidak pernah dialami generasi sebelumnya.
Menurut laporan dari Pew Research Center, sekitar 59% Gen Z melaporkan mengalami kecemasan yang tinggi, dengan media sosial sebagai salah satu pemicu utama. Di satu sisi, platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter memberikan ruang ekspresi. Namun, di sisi lain, mereka menciptakan standar kesuksesan, kecantikan, dan kehidupan sosial yang sulit dicapai. Komparasi sosial yang konstan memicu rasa tidak cukup dan menurunkan harga diri.
“Kita melihat tren peningkatan kecemasan dan depresi yang beriringan dengan penggunaan media sosial,” ujar Dr. Maria Santoso, seorang psikolog klinis yang telah meneliti perilaku digital Gen Z. “Ketika segala sesuatu diukur dari jumlah like atau jumlah followers, validasi diri pun menjadi bergantung pada algoritma, bukan pada pengalaman nyata.”
Generasi yang Paling Terbuka, Namun Juga Paling Rentan
Gen Z dikenal sebagai generasi yang paling vokal dalam membahas kesehatan mental. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang lebih cenderung menekan perasaan dan menghindari pembicaraan tentang emosi, Gen Z justru terbuka dalam mengakui kecemasan dan depresi mereka. Kampanye digital tentang self-care, mindfulness, dan terapi semakin banyak muncul, menunjukkan bahwa mereka menyadari pentingnya kesehatan mental.
Namun, keterbukaan ini juga memiliki konsekuensi lain. Sebuah studi dari American Psychological Association menemukan bahwa eksposur berlebihan terhadap informasi negatif dan tragedi global, yang mudah diakses melalui media sosial, memperburuk kecemasan dan perasaan tidak berdaya pada Gen Z. Berita tentang perubahan iklim, ketidakstabilan politik, dan ketidakpastian ekonomi membuat mereka merasa seakan dunia berada di ujung kehancuran.
“Dulu, kita mendapat berita dari koran atau TV dengan batasan waktu tertentu,” jelas Dr. Maria. “Sekarang, notifikasi di ponsel mereka tidak pernah berhenti, sehingga beban informasi yang mereka terima lebih besar dari generasi sebelumnya.”
Tekanan Sosial dan Ekonomi: Realitas yang Tak Bisa Diabaikan
Jika generasi sebelumnya melihat pendidikan tinggi sebagai kunci kesuksesan, Gen Z justru menghadapi kenyataan bahwa gelar tidak selalu menjamin pekerjaan stabil. Mereka tumbuh di tengah ketidakpastian ekonomi, dengan biaya hidup yang semakin tinggi dan pasar kerja yang semakin kompetitif.
Di banyak negara, Gen Z harus menghadapi kenyataan bekerja dalam industri gig economy yang penuh ketidakpastian, tanpa jaminan pekerjaan tetap atau tunjangan kesehatan. Sementara itu, orang tua mereka—yang sebagian besar berasal dari Generasi X dan Baby Boomers—mungkin masih memegang paradigma kesuksesan yang berbasis kestabilan kerja dan rumah tangga yang mapan.
“Bayangkan tumbuh dengan harapan bahwa kesuksesan berarti memiliki rumah sendiri, sementara harga properti melonjak jauh lebih cepat dari kenaikan gaji rata-rata,” kata Indra Wijaya, seorang ekonom yang meneliti tren generasi muda. “Ketidakcocokan antara ekspektasi lama dan realitas baru ini menambah tekanan mental bagi Gen Z.”
Banyak dari mereka yang kemudian mencari alternatif lain, seperti berbagi tempat tinggal atau menunda kepemilikan rumah demi fleksibilitas dalam karier dan gaya hidup. Realitas ini menunjukkan bahwa standar kesuksesan bagi Gen Z mungkin perlu didefinisikan ulang sesuai dengan kondisi zaman yang terus berubah.
Adaptasi dan Resiliensi: Menuju Generasi yang Lebih Tangguh
Meski sering disebut sebagai generasi dengan mental yang lemah, Gen Z sebenarnya sedang beradaptasi dengan dunia yang jauh lebih cepat berubah dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka memanfaatkan teknologi untuk mencari solusi, mulai dari terapi online hingga komunitas pendukung berbasis digital. Mereka juga lebih fleksibel dalam mendefinisikan kesuksesan, dengan banyak yang memilih karier berbasis passion dan keseimbangan hidup ketimbang mengejar pekerjaan konvensional yang dianggap stabil.
Dalam berbagai aspek, Gen Z bukanlah generasi yang lemah, melainkan generasi yang menghadapi tantangan yang lebih besar dengan cara yang berbeda. Mereka bukan hanya korban zaman, tetapi juga arsitek perubahan sosial yang mendefinisikan ulang bagaimana kita memahami kesehatan mental, pekerjaan, dan kehidupan bermakna.
Seperti halnya spesies di alam liar yang berevolusi untuk bertahan di lingkungan yang berubah, Gen Z sedang membentuk cara baru dalam menghadapi dunia modern. Dan mungkin, dalam proses ini, mereka tidak lemah—mereka hanya sedang mencari cara baru untuk menjadi kuat.
Daftar Pustaka
Pew Research Center. (2022). “The Impact of Social Media on Mental Health.”
American Psychological Association. (2021). “Anxiety and Depression Trends in Generation Z.”
Santoso, M. (2023). “Digital Behavior and Mental Health in Gen Z.” Journal of Clinical Psychology.
Wijaya, I. (2022). “Economic Challenges for Young Generations.” Economic Review Journal.