Cahaya di Atas Cahaya

Cahaya di Atas Cahaya

Bagikan:

Salah satu karya imam al-Ghazali yang sangat menarik bagi saya adalah Misykat al-Anwar. Kitab ini berisi tafsiran al-Ghazali terhadap : 35, ayat yang sering disebut-sebut sebagai “Ayat Cahaya.” Oleh karena itulah maka kitab ini sering disebut “Tafsir Ayat Cahaya”.QS. Al-Nur

Misykat al-Anwar diyakini sebagai satu-satunya karya yang memaparkan doktrin esoterik sang hujjatul Islam ini. Kitab ini membahas secara komprehensif dimensi-dimensi alam malakut (alam atas), sebuah kajian yang memungkinkan kita mengenal lebih dekat hakikat Allah, Pencipta dan Pengatur Seluruh Semesta.

Dalam kitabnya ini Al-Ghazali membahas alam malakut melalui simbolisme cahaya. Menurutnya, cahaya ini hanya bisa tersingkap oleh para pemilik bashirah (mata hati). Cahaya-cahaya malakut ini memiliki tata urutan, yang sambung-menyambung dan siklusnya berakhir pada Sumber Pertama, Cahaya yang tidak bersandar pada cahaya lain, Cahaya yang Zat-Nya Sendiri menyinari seluruh cahaya, Cahaya di atas cahaya, itulah Allah SWT.

Dalam menafsirkan QS. al-Nur, 24 : 35, al-Ghazali memberikan penjelasan bahwa cahaya yang hakiki adalah Allah Swt. dan nama cahaya bagi selain-Nya adalah metafor (majazi) belaka dan tidak hakiki.

Bagi al-Ghazali, cahaya itu memiliki tingkatan-tingkatan sesuai dengan pemahaman orang yang mempersepsinya. Beliau membedakan makna cahaya pada tiga tahapan, pertama, cahaya menurut pemahaman awwam (umum), kedua, cahaya menurut pemahaman kalangan khawas (khusus), dan ketiga, cahaya menurut pemahaman kalangan khawas al-khawas (khusus dari yang khusus). Dengan mengetahui tingkatan itulah, menurutnya, maka akan terbuka dengan jelas bahwa Allah adalah cahaya yang Maha Tinggi dan paling jauh. Dengan ini pula maka akan dimengerti bahwa Dia adalah Hakikat Cahaya Kebenaran, Dia-lah satu-satunya cahaya, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Cahaya menurut orang awam

Bagi kalangan awam (umum), cahaya adalah cahaya yang nampak dan yang terlihat oleh pandangan kasat mata (indera). Bagi mereka panca indera memiliki peranan yang sangat penting dan yang berlaku hanyalah daya tangkap indera manusiawi.

Menurut al-Ghazali, benda yang bisa ditangkap oleh indera mata dapat dibagi menjadi tiga macam: Pertama, benda yang tidak tampak dengan sendirinya, seperti benda-benda gelap; kedua, benda yang tampak dengan sendirinya, tetapi tidak membuat benda lain kelihatan, seperti bintang-bintang dan zat api apabila tidak menyala, dan ketiga, benda yang tampak dengan sendirinya dan dapat membuat benda lain terlihat, seperti matahari, bulan yang sedang memantulkan cahaya, dan api atau pelita yang menyala.

Dari ketiga macam benda di atas, makan yang dimaksud dengan cahaya adalah yang nomor ketiga. Cahaya didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat menjadikan benda lainnya tampak, seperti matahari.

Cahaya menurut kaum Khawas

Bagi kalangan khawas (khusus), cahaya itu bukan saja apa yang dapat dilihat oleh mata—karena tangkapan penglihatan itu sangat bergantung kepada cahaya, tetapi ia juga harus dalam keadaan melihat. Walaupun ada cahaya, tapi kalau tidak bisa melihat seperti orang buta, maka tidak akan bisa melihat cahaya itu. Bagi kaum khusus ini, panca indera (mata) memiliki banyak kekurangan dan menurut mereka, ruh yang melihat (ruh bashirah) sama dengan cahaya yang nampak. Bahkan bisa dikatakan ruh memiliki posisi yang lebih tinggi dari pada cahaya. Sebab ia memiliki daya melihat dan dengannya sesuatu itu bisa tampak. Sementara cahaya sendiri tidak memiliki “daya tangkap penglihatan” dan ia juga tidak dapat menciptakannya.

Cahaya menurut Khawas al-khawas

Bagi golongan ini, istilah cahaya lebih tepat kalau dipakai untuk cahaya yang dapat memberikan daya penglihatan, bukan untuk sembarang cahaya. Maka ruh yang melihat (ruh bashirah) itulah yang disebut “cahaya”, karena ia memang lebih pantas menyandang istilah tersebut.

Dalam diri manusia terdapat mata yang memiliki sifat sempurna, yang tidak memiliki kekurangan seperti mata inderawi. Mata itu disebut dengan akal, ruh, atau jiwa. Menurut al-Ghazali, mata inderawi memiliki banyak kekurangan. Di antara kekurangan-kekurangan tersebut adalah : 1). tidak bisa melihat dirinya, 2). tidak bisa melihat objek yang terlalu dekat dan terlalu jauh dengannya, 3). tidak bisa melihat benda di balik hijab, 4). Hanya bisa melihat bagian luar benda, tidak pada bagian dalamnya, 5). Hanya dapat melihat sebagian eksistensi, 6). Tidak mampu melihat cakrawala tanpa batas, dan 7). Melihat sesuatu yang besar tampak kecil.

Menurut al-Ghazali, semua kekurangan-kekurangan itu relatif dapat dihindari oleh akal. Maka baginya, akal atau ruh lebih pantas disebut cahaya daripada mata kasat. Walau akal pun kemudian sering ter-hijab (tertutup) oleh hayalan dan prasangka, hingga pada saatnya tersingkap penutup itu dan terbukalah rahasia. Seperti dikatakan dalam a-Qur’an: “Dan telah kami singkap hijab (penutup)-mu, maka penglihatanmu hari ini sangat tajam,” (QS. Qaf, 50 : 22).

Al-Qur’an adalah Pelita yang Menyinari Akal

Lebih lanjut al-Ghazali menjelaskan bahwa meskipun akal memiliki daya lihat, tetapi tidak berarti bahwa apa yang dilihatnya memiliki derajat yang sama. Sebagiannya ada yang terlihat layaknya suatu aksiomatis ilmu-ilmu eksakta, tetapi ada juga yang tidak terjangkau oleh akal atau tidak sesuai dengan pengalaman akal. Oleh karena itu akal perlu digerakkan, dirangsang, dan diberi perhatian seperti dalam masalah teori-teori.

Pada titik ini, yang mampu memberikan hanyalah para hukama’, yaitu orang-orang yang memperoleh pancaran cahaya hikmah. Ketika seseorang mendapat pancaran cahaya hikmah, dia akan dapat melihat sesuatu secara otomatis karena kehendak-Nya. Dan hikmah terbesar di sini adalah Kalamullah. Di antara kalam-Nya adalah al-Qur’an.

Karenanya, posisi ayat-ayat al-Qur’an di mata akal seperti sinar matahari bagi kasat mata. Al-Qur’an adalah cahaya bagi akal, dan akal adalah cahaya bagi mata. Dengan kerangka inilah dipahami makna Firman Allah, “Dan berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, dan kepada Nur (Cahaya) yang Kami turunkan.” (QS. Al-Taghabun, 64: 8). Dan Firman-Nya,“Hai manusia, telah datang kepadamu bukti dari Tuhanmu dan Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang.”(QS. Al-Nisa, 4: 174).

Alam Syahadah dan Alam Malakut

Kemudian al-Ghazali membedakan dua macam mata, mata inderawi dan mata batin. Mata inderawi ini adalah mata dhahir yang jangkauannya adalah alam yang bisa dirasa dan kasat mata, sementara mata batin adalan mata yang menjangkau alam malakut (alam malaikat). Kedua mata ini memiliki cahaya, yang dengannya kedua mata ini menjadi sempurna. Cahaya mata dhahir adalah matahari dan cahaya mata batin adalah al-Qur’an dan kitab-kitab Allah lainnya yang telah diturunkan.

Al-Ghazali membandingkan kedua alam ini (alam syahadah dan alam malakut) bagaikan kulit buah dengan isinya, seperti bentuk dengan ruhnya (esensinya), kegelapan dengan cahaya, atau yang rendah disandingkan dengan yang tinggi. Alam malakut juga sering disebut alam al-ulwi (atas), alam al-ruhani (alam ruhani), dan alam al-nuri (alam cahaya). Sementara alam syahadah sering disebut alam al-sufli (alam rendah), alam al-jismani (alam jasmani), dan alam al-dzulmani (alam kegelapan).

Alam syahadah adalah miniatur dari alam malakut. Ia adalah percikan bekas dari penciptaan alam malakut, seperti halnya bayangan dari fisik seseorang. Sesuatu yang bersumber dari yang lain, mestilah ia mempunyai kemiripan dengan aslinya, sedikit ataupun banyak. Begitu juga dengan alam syahadah yang memiliki kemiripan dengan alam malakut.

Pada dasarnya, manusia tergolong makhluk yang berada di alam rendah, akan tetapi ia dapat naik ke alam yang tinggi. Sedangkan malaikat adalah bagian dari alam malakut, mereka bergantung pada hadirat al-quds (hadirat kesucian Allah SWT), dan dari sana mereka menyinari alam rendah. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kegelapan, kemudian dia melimpahkan cahaya-Nya atas mereka.” Dan dalam riwayat lain, “Sesungguhnya Allah SWT mempunyai malaikat, di mana para malaikat ini lebih mengetahui perbuatan manusia, daripada perbuatan mereka sendiri.”

Dan apabila para nabi telah naik dan mencapai alam malakut, berarti meraka telah mencapai tingkat yang paling tinggi. Di sana mereka dapat menyaksikan beberapa alam gaib, sebab dia telah berada di sisi Allah, yang di tangan-Nya terletak semua kunci kegaiban.

Nabi Sumber Cahaya Bumi

Sesuatu yang dapat memberikan cahaya penglihatan kepada yang lain dinamakan sebagai lentera atau pelita penerang. Dan pelita itu memperoleh cahayanya dari sesuatu yang dinamakan api. Cahaya yang ada di atas bumi ini (para Nabi dan ulama) memperoleh cahaya dari alam atas (tinggi).

Minyak ruh suci kenabian sendiri, menurut al-Ghazali, nyaris bersinar walaupun tidak tersentuh api. Dan setelah tersentuh api, ruh itu berubah menjadi “cahaya di atas cahaya.” Ruh itu menyulut cahaya bumi, khususnya setelah ruh itu tersentuh oleh ruh Ilahiyah, yang berada di alam atas.

Seorang nabi adalah cahaya, karena ia dapat menerangi dirinya dan bahkan dapat menerangi yang lainnya. Karena kemampuannya menyinari yang lainnya maka ia disebut lentera yang menyinari (siraj al-munir). Melalui al-ruh al-quds al-nabawi (ruh suci kenabian), maka terpancarlah limpahan cahaya pengetahuan pada seluruh makhluk. Dengan demikian dapat dimengerti kenapa Allah SWT menamakan Nabi Muhammad SAW sebagai siraj al-munir (lentera yang menyinari).

Tingkatan Cahaya

Cahaya langit adalah sumber cahaya di bumi. Dan apabila diurutkan, maka yang paling dekat dengan sumber cahaya awal itulah yang lebih tepat disebut cahaya. Sebab cahaya inilah yang paling tinggi derajatnya.

Tata urutan cahaya ini, menurut al-Ghazali, seperti halnya cahaya bulan purnama yang masuk ke dalam fentilasi rumah. Dan cahaya itu jatuh ke sebuah cermin. Kemudian cermin yang kejatuhan cahaya itu memantulkannya ke dinding di sekitarnya. Akhirnya dari biasan dinding ini dapat menyinari lantai rumah.

Kita memahami bahwa cahaya yang menerangi lantai itu berasal dari cahaya dinding, cahaya dinding bersumber dari cahaya cermin, sedangkan cahaya yang menerpa cermin itu berasal dari cahaya bulan purnama, dan cahaya bulan itu bersumber dari cahaya matahari. Secara berurutan, keempat cahaya itu tingkatannya lebih tinggi antara yang satu dengan yang lainnya. Dan yang paling tinggi adalah yang paling sempurna.

Hal itu juga berlaku bagi cahaya-cahaya malakut. Dan hal ini hanya bisa tersingkap bagi para pemilik bashirah (mata hati). Di antara para malaikat itu terdapat tingkatan yang lebih dekat lagi kepada hadirat al-rububiyah (hadirat ketuhanan), sebagai sumber dari segala cahaya. Di antara mereka terdapat tingkatan yang tidak mungkin dapat di hitung.

Diketahui bahwa cahaya-cahaya itu memiliki tata urutan, tapi menurut al-Ghazali, bukan berarti itu sambung-menyambung tanpa batas. Cahaya itu terus membumbung naik hingga mencapai sumber cahaya pertama, yaitu Cahaya itu sendiri, yang Zatnya tidak disinari oleh cahaya lain. Ia memancarkan cahayanya ke seluruh cahaya sesuai dengan tata urutannya masing-masing. Dialah Allah, Cahaya di atas cahaya.

Perumpamaan Misykat, Pelita, Kaca, Pohon, Minyak dan Api

Dalam menjelaskan perumpamaan di atas, al-Ghazali pertama-tama mengajukan dua pokok pembahasan. Pertama, penjelasan tentang rahasia perumpamaan, metode, dan sistematika makna-makna yang dikemas dalam bentuk perumpamaan itu. Termasuk di dalamnya menyangkut relevansi alam syahadah sebagai materi perumpamaan dengan alam malakut, yang dari alam itu ruh-ruh turun. Kedua, penjelasan tentang tingkatan ruh manusiawi dan derajat cahayanya.

Rahasia Perumpamaan dan Metodenya

Al-Ghazali mengatakan bahwa alam ini ada dua macam: alam ruhani dan alam jasmani. Untuk kedua alam ini terdapat banyak peristilahan tetapi maknanya adalah sama. Orang yang telah mencapai alam hakikat, mereka menjadikan makna sebagai pokok, sedangkan istilah hanyalah sebagai pelengkap saja.

Di antara kedua alam ini terdapat hubungan. Alam inderawi (jasmani) hanyalah media pendakian ke alam akal (ruhani). Seandainya tidak ada hubungan antara kedua alam ini, niscaya jalan pendakian ke alam akal akan tertutup. Jika media itu tertutup, maka mustahil bagi seseorang untuk berjalan menuju ke hadirat rububiyah dan termasuk pula jalan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT.

Siapa pun tidak akan bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT sebelum menginjakkan kakinya di arena hadirat al-quds. Sedangkan hadirat al-quds menurut al-Ghazali adalah alam yang tidak dapat disadap oleh indera penglihatan maupun khayalan. Secara global, yang dimaksud dengan hadirat al-quds adalah kawasan di mana tidak ada sesuatu yang keluar darinya, dan tidak ada pula sesuatu yang asing baginya yang masuk ke dalamnya.

Al-Ghazali menamakan ini al-ruh al-basyari (ruh manusiawi), yaitu tempat limpahan goresan-goresan kesucian yang disebut al-wadi al-quds (lembah kesucian). Secara majazi, istilah hadirah al-quds ini dapat diartikan dengan ruang kesucian Ilahi.

Terlepas dari semua penafsiran ayat di atas, al-Ghazali mengatakan bahwa tidak ada perumpamaan bagi Zat Allah, karena Dia Maha Suci dari seluruh bentuk perumpamaan dan kesamaan. Dia adalah Allah Yang Maha Haqq. Hal ini juga seperti yang dikatakan Rasulullah SAW ketika ditanya tentang perumpamaan Allah. Beliau hanya menjawab dengan membacakan surat al-Ikhlas. Begitu pula ketika Nabi Musa as. ditanya oleh Fir’aun tentang hal itu, Nabi Musa hanya menjawab, “Dia adalah Tuhan langit dan bumi”. Dan, “Dia adalah Tuhan kalian dan Tuhan kakek moyang kalian yang terdahulu…”(QS. Ash-Shaffat, 37 : 126).

Tingkatan Cahaya Manusia

Dalam membahas tingkatan cahaya manusia ini, al-Ghazali membedakannya menjadi lima macam. Pertama, ruh inderawi, yaitu ruh yang dapat menyadap segala sesuatu yang ditranfer oleh panca indera. Kedua, ruh khayal (ruh imajinatif), yaitu ruh yang merekam informasi yang disampaikan oleh panca indera, kemudian menyimpannya, selanjutnya dikirim ke ruh akal di saat membutuhkannya. Ketiga, ruh aqli, yaitu ruh yang dapat menyadap makna-makna di luar indera dan khayal. Ruh ini merupakan substansi manusiawi yang tidak dimiliki oleh hewan, bayi, atau anak kecil. Keempat, ruh fikri (ruh pemikiran), yaitu ruh yang mengambil ilmu-ilmu akal murni. Dan kelima, ruh al-quds al-nabawi (ruh suci kenabian), yaitu ruh yang khusus dimiliki oleh para Nabi dan sebagian para wali.

Di dalam ruh terakhir ini tersingkaplah lauh-lauh (catatan-catatan) gaib. Terbuka pula hukum-hukum akhirat, pengetahuan-pengetahuan tentang kerajaan langit dan bumi. Bahkan terbuka pula pengetahuan-pengetahuan rabbani (tentang ketuhanan), yang semua itu tidak dapat terjangkau oleh kemampuan akal dan pemikiran.

Kelima macam ruh di atas adalah cahaya-cahaya, sebab dengan cahaya itu segala sesuatu menjadi kelihatan. Dan kelima ruh tersebut oleh al-Ghazali diperbandingkan dengan misykat, kaca (zujajah), pelita (mishbah), pohon (sajarah), dan minyak (zaitun).

Pertama, tentang ruh inderawi. Bila dilihat dari keistimewaannya, maka akan ditemukan cahayanya yang keluar dari berbagai celah seperti mata, telinga, hidung, den sebagainya. Karena itu perumpamaannya yang paling tepat baginya di alam kasat mata adalah Misykat.

Kedua, tentang ruh khayali. Ruh ini memiliki tiga sifat: 1). Ia berasal dari materi alam rendah yang pekat, 2). Khayal yang pekat ini bila dijernihkan, diperhalus, dan dirapikan akan mendekati batas makna yang hanya dapat ditangkap oleh daya akal, sehingga hampir menyamainya dan tidak menghalangi pancaran cahaya darinya, 3). Khayal itu pada dasarnya sangat dibutuhkan untuk membuat sistematika ilmu pengetahuan, agar tidak goyah, tidak terombang-ambing, dan tidak berantakan. Ketiga ciri khas ini tidak akan ditemui perumpamaannya pada benda apa pun di alam kasat mata, dalam hubungannya “kaca yang melihat”, kecuali pada ‘kaca’ (zujajah).

Ketiga, tentang ruh aqli. Ruh ini berfungsi untuk menangkap makna-makna mulia Ilahiyah. Perumpamaanya untuk ruh ini adalah ‘Pelita’ (Mishbah). Dari penjelasan yang lalu ditemukan alasan kenapa para Nabi itu disebut sebagai siraj al-munir (Pelita penerang).

Keempat, tentang ruh fikri. Di antara ciri khas ruh ini adalah ia tumbuh dari ‘satu’ kemudian bercabang menjadi ‘dua’, dan masing-masing keduanya bercabang-cabang lagi, begitu seterusnya, sehingga menjadi banyak. Setelah itu cabang-cabang itu membuahkan benih baru untuk ditanam menjadi pohon serupa. Dan perumpamaan yang paling tepat di alam kasat mata untuk ruh fikr (pemikiran) ini adalah “Pohon” (Sajarah). Dan pohon yang paling tepat adalah pohon zaitun, yang minyaknya dapat dijadikan bahan bakar untuk menyalakan pelita.

Di samping itu minyak zaitun memiliki keistimewaan, yakni cahaya yang ditimbulkan lebih terang daripada minyak lainnya. Jika pohon yang banyak buahnya dinamakan dengan pohon berkah, maka pohon zaitun yang sangat banyak buahnya lebih tepat dinamakan pohon ‘penuh berkah’, atau ‘pohon yang diberkahi’. Dan bila cabang dari akal pikiran murni tidak dapat dikaitkan dengan arah dekat atau jauh, berarti cabang pikiran itu tidak di timur dan juga tidak di barat.

Kelima, tentang ruh kenabian. Ruh ini dihubungkan dengan kedudukan para nabi dan wali. Ruh ini menurut al-Ghazali terjadi dalam kondisi puncak kebenderangan dan kejernihan. Ruh para nabi diibaratkan sebagai ruh yang nyaris bercahaya dengan sendirinya, seakan-akan tidak memerlukan bantuan dari cahaya yang lain. Di antara para nabi ada yang hampir tidak membutuhkan bantuan malaikat. Begitulah perumpamaan “Minyak” (Zaitun) yang sangat sesuai dengan ruh para nabi ini.

Menurut al-Ghazali, jika cahaya ini membentuk sistem, maka cahaya inderawi menduduki posisi pertama dan menjadi mukaddimah bagi cahaya khayali, begitulah seterusnya sampai pada cahaya fikri (pemikiran) dan cahaya akal. Dengan demikian tepat sekali bila “kaca” (semprong) dijadikan tempat bagi pelita (lampu), dan misykat (ceruk) itu sebagai tempat kaca. Jelasnya, pelita itu berada di dalam kaca dan kaca berada di dalam misykat. Jika semua itu dinamakan cahaya-cahaya, dimana cahaya yang satu berada di atas cahaya lainnya, maka itulah yang dimaksudkan dengan ilustrasi Cahaya di atas cahaya.

Cucu Surahman

Young Lecture UIN Jakarta

Email : cucucms@yahoo.com