Pilihan-Pilihan Dalam Praktek Filantropi Islam

Topik tentang konsep dasar dan praktik filantropi Islam saat ini masih menarik untuk dikaji karena beberapa hal. Pertama, meskipun topik ini bukan hal baru, praktik dan pengelolaan filantropi Islam khususnya di negara-negara Muslim relatif cukup berkembang setidaknya dilihat dari upaya-upaya yang dilakukan organisasi filantropi Islam dan kemampuan mereka dalam memobilisasi dana ummat.

Kedua, praktik filantropi Islam, khususnya di Indonesia sebagai salah satu negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, masih sangat khas, yaitu terfokus pada program-program penguatan pelayanan kesejahteraan masyarakat, baik dalam bidang sosial, ekonomi maupun kesehatan. Ketiga, belum banyak, untuk tidak mengatakan tidak ada, gerakan filantropi Islam yang mencoba menyentuh aspek-aspek yang lebih bernuansa estetik (baca: tidak sekedar fisik dan material), seperti preservasi budaya, kesenian dan penguatan tradisi intelektual.

Filantropi Islam yang saya maksudkan adalah kegiatan komunitas yang tujuannya adalah meningkatkan kualitas hidup masyarakat, diantaranya melalui kegiatan ‘memberi’. Secara konseptual, setidaknya dilihat dari makna filosofinya, filantropi memang agak berbeda dengan tradisi memberi dalam Islam, seperti zakat, infak maupun shadaqah. Filantropi lebih berorientasi pada ‘kecintaan pada manusia’, motivasi moral. Sementara dalam Islam, basis filosofisnya adalah ‘kewajiban’ dari ‘Yang di Atas’ untuk mewujudkan keadilan sosial di muka bumi. Namun, belakangan istilah-istilah tersebut ini popular dipergunakan secara bersamaan dan bertukaran untuk mengidentifikasi praktik kedermawanan berbasis agama, termasuk di kalangan Muslim.

Dalam sebuah kelas musim panas di Universiteit Tilburg, Kerajaan Belanda, bulan Juni 2009, dengan professor tamu seorang ahli Hukum Islam dari School of Law, University of California-Los Angles (UCLA), Kaleed Abou el-Fadhl, memuncul diskusi yang menarik tentang filantropi Islam dalan kaitannya dengan penguatan dan pencarian idenititas Islam di era modern. Abou Fadhl sendiri memberikan perkuliahan selama dua minggu dan mendiskusikan berbagai materi tentang Islam di Timur Tengah dan Barat, konsep dan ajaran dasar Islam, dinamika budaya dan politik serta identitas kultural komunitas Muslim, dialog Islam dan kemodernan, Islam paskakolonial, dan sebagainya.

Salah satu isu yang dilontarkan Abou Fahl adalah masalah filantropi. Ia menegaskan perlunya upaya sistematis untuk memeliharan tradisi Islam dengan cari mengkaji sumber–sumber klasik untuk kemudian dapat terus didialogkan dengan kemodernan. Hal itu, menurutnya, memberikan kontribusi penting bagi ummat Islam di era modern: pertama, agar ummat Islam dalam lebih memahami apa yang disebut dengan identitas dan tradisi Islam itu tanpa terjebak dengan simbol-simbol yang artifisial;

Kedua, ummat Islam lebih kreatif dan inovatif, sesuai dengan prinsip ijtihad, serta tidak bersikap defensif maupun apologetik ketika berdialog dengan modernitas. Tapi, catat Abou Fadhl, upaya tersebut tidak mudah, perlu proses yang panjang dan serius yang didukung oleh gerakan filantropi Islam. Karena memperkuat perpustakaan yang mengoleksi karya-karya klasik Islam, bahasa Melayu maupun Arab, membayar orang-orang yang berdedikasi untuk mengkajinya dan merefleksikannya kepada dunia modern, butuh biaya cukup besar.

Tiba-tiba Abou Fadhl melontarkan pertanyaan: “bagaimana dengan praktik filantropi Islam di negara kamu?” Saya tidak buru-buru menjawab, sampai saya sadar bahwa pertanyaan tersebut terkait dengan gagasannya tentang eksplorasi identitas Muslim melalui kajian karya-karya klasik intelektual Islam. Saya katakan bahwa gerakan filantropi Islam di Indonesia dewasa ini, yang diantaranya direpresentasikan oleh organisasi sosial dan lembaga-lembaga amil zakat, kelihatannya masih terkonsentrasi pada aspek-aspek yang populis dengan membuat program-program untuk penyantunan, perbaikan tempat ibadah, pemberdayaan ekonomi, pelayanan kesehatan, atau juga pemberiaan beasiswa untuk anak-anak kurang mampu.

Saya tekankan bahwa hal itu bukan tanpa alasan. Masyarakat Indonesia secara umum masih bergelut dengan krisis, terutama di tingkat akar rumput. Sebagian bahkan masih harus “disubsidi” dalam bentuk cash dengan dana BLT (Bantuan Langsung Tunai). Sistem penjaminan sosialnya masih lemah, dan bolong di sana-sini. Pun, asuransi kesehatan dari pemerintah untuk kelompok miskin pinggiran—seperti Askeskin, Jamkesos, kartu miskin, dan yang semacam dengan ini—masih tambal sulam, dan masih banyak di kalangan miskin pinggiran yang malah sama sekali tidak mendapatkan akses pada program tersebut. Tak heran, lembaga pengobatan gratis yang disediakan organisasi sosial dan lembaga zakat masih ramai didatangi orang. Mereka masih bersedia antri untuk sebuah pelayanan yang tidak terlalu berbelit-belit.

Saya juga jelaskan pula bahwa dulu, Dr. Nurcolish Madjid, membuat sebuah lembaga filantropi, Yayasan Wakaf dan Lazis Paramadina yang misinya selaras dengan apa yang didiskusikan oleh Abou Fadhl. Yayasan ini cukup serius melakukan kajian-kajian sumber-sumber klasik Islam, mencoba mendialogkan tradisi Islam dengan modernitas, nasionalisme dan masalah keindonesiaan, serta menerbitkan berbagai hasil kajian reguler dengan mendatangkan berbagai pakar melalui dana wakaf, infak dan shadaqah. Yayasan ini, juga mencoba mendefinisikan ulang tentang makna kemiskinan, yang tidak hanya bersifat fisik dan material, tetapi juga spiritual dan intelektual.

Tapi, seberapa kuatkah daya tarik program-program tersebut bagi para donatur, seberapa pentingkah dimata muzakki risalah dan karya tentang literatur klasik Islam, seberapa penting pula sebuah perpustakaan yang mengoleksi naskah-naskah intelektual yang ditulis Muslim Indonesia masa silam, misalnya abad ke-17 sampai ke-19 Masehi dimata para dermawan. Memang, kegiatan-kegiatan Yayasan Wakaf Paramadian itu sendiri saat ini tidak semasif dan se-populer dulu. Lagi pula, donatur saat ini lebih tertarik dengan hal yang lain yang lebih populer dan kasat mata.

Mendengar penjelasan saya, Abou Fadhl langsung mengomentari tentang kontestasi “moral” dalam sebuah kegiatan filantropi: yaitu manakah yang lebih baik, menyumbangkan dana ke perpustakaan untuk memeliharan karya-karya klasik, langka dan “bernilai” sejarah, ataukah memberi makan orang miskin. Membiayai pemuda-pemuda kreatif di bidang senirupa, sastra, musik, dan drama, ataukah membagikan beras dan lauk pauk di daerah miskin perkotaan. Memang, selalu ada tarik menarik secara moral antara pilihan-pilihan seperti diatas, terutama di negara-negara berkembang. Membiayai penerbitan buku-buku untuk pengayaan khasanah pemikiran yang dapat dikonsumsi oleh publik dengan biaya murah, ataukah membiayai buka bersama berulang kali. Semuanya, memang memiliki plus-minus, orang bisa menggunakan logika ‘prioritas’ tetapi bisa juga dengan argumen ‘pilihan’.

Hemat saya, apa yang dikatakan Abou Fadhl ada benarnya, yaitu bahwa lembaga-lembaga filantropi yang beroperasi selama ini memang berada dalam pilihan-pilihan beragam. Mereka harus menentukan skala prioritas, setidaknya dengan menjalankan kegiatan yang lebih strategis, populis, dan tentu saja ‘marketable’. Bagaimanapun, nafas gerakan filantropi berada di tangan masyarakat, dermawan, donatur, dan kelompok wajib zakat yang menyadari kewajibannya. Karena itu, di Indonesia saya melihat seolah-olah ada “kesepakatan tidak tertulis” dalam menjalankan program atau kegiatan filantropi. Lembaga filantropi Islam (salah satunya: lembaga amil zakat) dengan amil zakat lainnya yang cukup besar di Indonesia, nampaknya tidak memiliki perbedaan yang mencolok secara konseptual, paradigmatik, dan bahkan secara teknis, kecuali jumlah ‘pendapatan’ hasil fund raising mereka.

Dari segi program dan kegiatan, misalnya, lebih banyak kemiripan satu sama lain daripada sebuah inovasi yang berkarakter: dalam bidang kesehatan, pelayanan kesehatan gratis, baik yang parsial maupun berkesinambungan menjadi salah satu kecenderungan; dalam bidang sosial, apalagi kalau bukan memberikan bantuan ‘ala kadarnya’ untuk para mustahik yang datang silih berganti ke kantor amil zakat (beruntung masih ada lembaga-lembaga filantropi Islam yang mencoba menyusun program jangka panjang untuk pemberdaayan eknomi dan pendidikan); dalam bidang dakwah Islam fî sabîlillah, selain membiayai para da’i juga kerap tidak bisa dipisahkan dengan renovasi dan pembangunan tempat ibadah.

Seorang teman saya, penulis buku dan pecinta seni dan satra di Yogyakarta, pernah bertanya: ‘sepengetahuan kamu, adakah lembaga filantropi Islam yang mau membiayai pementasan teater anak-anak remaja?’ Teman ini membayangkan bahwa ia dapat menggarap pementasan teater dan drama yang dapat didukung oleh lembaga filantropi Islam. Saya sendiri tidak bisa langsung menjawab ya atau tidak, karena keterbatasan pengetahuan saya sendiri. Meski dari pengalaman pribadi, saya belum sempat melihatnya secara langsung. Jawaban saya diplomatis saja, ‘mungkin ada, tapi belum banyak.’ Kelangkaannya mungkin juga disebabkan pemahaman konsep dakwah yang masih cukup jauh dari faham tertentu yang mengapresiasi ‘dunia estetika’.

Dakwah melalui ‘musik-musik religius’ mungkin sudah banyak, meskipun tetap konsep bisnis tidak bisa dipisahkan dari itu. Tapi untuk membiayai teater anak-anak remaja! Saya tidak tahu persis.Tentu saja di sini saya tidak hendak mengatakan bahwa program pelayanan adalah sesuatu yang meaningless. Sebab konsep karitas dan bentuk pelayanan kepada fakir miskin dalam bidang kesehatan, sosial dan ekonomi juga masih sangat dibutuhkan (meskipun sesungguhnya itu utamanya adalah tanggung jawab negara). Apalagi di tengah krisis yang belum sepenuhnya pulih, kondisi sosial politik yang belum sepenuhnya stabil, dan gejala korupsi yang menjalar dimana-mana dan menjarah hak-hak publik dan penjaminan sosial kaum miskin.

Arifin Purwakananta yang salah satu petinggi sebuah lembaga filantropi besar di Indonesia, mengatakan bahwa untuk saat ini tidak hanya advokasi yang kita butuhkan, tetapi juga pelayanan masih tetap harus dilakukan. Saya setuju dengan pernyataannya dengan tidak mengurangi pentingnya merambah dimensi lain. Kalau kita cermati, manusia dan kelompok masyarakat membutuhkan berbagai dimensi dalam hidupnya, baik fisik-material (pemenuhan kebutuhan dasar), psikis-spiritual (penguatan mental), dan etis-intellektual (penguatan basis institusi pengetahuan), dan mungkin juga estetis (penguatan kantong-kantong kesenian dan kebudayaan). Lembaga filantropi Islam, punya potensi kuat untuk memasuki dimensi-dimensi tersebut.

Tetapi pencarian ‘arah baru’ filantropi Islam tidak hanya berada dipundak pengelola organisasi filantropi Islam, tetapi juga dari para dermawan. Proses ‘pencerdasan’ dan pencerahan di kalangan dermawan/muzakki, individu maupun instituti, maupun pengelola memang perlu terus dilakukan, sehingga program dan kegiatan filantropi Islam yang menyentuh aspek kebutuhan fisik, psikis, etis, akademis, dan estetis, tetap layak jual dan dianggap sebagai bagian dari kebutuhan manusia.

Hilman Latief

Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta