Pendidikan Karakter Dan Krisis Keteladanan

Krisis multidimensi melanda dunia pendidikan Indonesia. Di tengah derasnya modernitas, anak Indonesia kehilangan jati dirinya. Kebiasaan bernilai positif seperti kejujuran, kedisplinan dan nasionalisme mulai menghilang. Indonesia mulai kehilangan generasi terbaik seperti Soekarno, Hatta, Bung Tomo, Syafruddin Prawiranegara dan lainnya. Sosok pahlawan yang kental membudayakan nilai positif baik perkataan dan perbuatan. Generasi anak Indonesia sekarang lebih disibukkan permainan game online, merokok, free seks yang menguras pikiran dan merusak kesehatan. Kondisi ini jelas terlihat dalam peringkat indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia yang melorot tajam di posisi 124 dari 187 negara pada tahun 2011.

Berbagai problematika itu akhirnya membuat pemerintah Indonesia sadar untuk mengambil tindakan pencegahan. Setelah berdialektika dalam proses pemikiran panjang, tercipta gagasan mengembalikan mentalitas dan pandangan positif melalui pendidikan karakter. Sebuah pendidikan yang dicitrakan dapat mengembalikan nilai luhur bangsa Indonesia yang hilang. Apalagi selama ini kontruksi pendidikan karakter dinilai masih kurang. Dalam dunia sekolah hanya dua mata pelajaran (PKN dan Agama) yang mengisi ruang kosong pembentukan karakter anak Indonesia.

Upaya pendidikan karakter mendapat dukungan dan legalitas hukum. Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 mengamanatkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Gaung pendidikan karakter mulai disosialisasikan secara luas. Dalam banyak kesempatan kalangan pemerintah tidak bosan mengumandangkan pendidikan karakter. Mereka berlomba menjadikan diri “pejuang karakter” yang dianggapnya dapat menyelamatkan masa depan anak Indonesia. Apalagi jamak diketahui, kondisi watak atau “karakter” manusia Indonesia dewasa ini kelihatan mengalami diorientasi kronis. Karena itu, adanya pendidikan karakter diharapkan banyak kalangan dapat menghidupkan kembali nilai positif identitas, etnisitas dan produktifitas demi membangun Indonesia yang lebih baik.

Hilangnya Nilai Keteladanan

Tapi harapan kadang tak sesuai fakta di lapangan. Kenginan “mengarakterkan” anak Indonesia mulai mendapatkan ujian. Pejabat pemerintah yang seharusnya mencerminkan sosok berkarakter justru gagal memberikan wajah positif pendidikan berkarakter. Dalam banyak kesempatan, politisi Indonesia dan aparat penegak hukum mempertontonkan sifat yang kontraprodktif.

Pertama, mereka mengajarkan anak nilai kejujuran, tapi mereka (para pejabat) sibuk korupsi. Anggaran negara dihabiskan demi memperkuat politik pencitraan dan mendanai operasional kelompoknya (partai politik). Selain korupsi, kalangan politisi ramai memperdagangkan produk konstitusi. Pernyataan Ketua MK Mahfud MD belakangan ini misalnya sangat mengejutkan. Menurutnya sejak MK berdiri tahun 2003 ada 406 kali uji materi terhadap berbagai produk UU. Ketika kejujuran menghilang, dimana esensi pendidikan karakter?

Kedua, anak diminta belajar membiasakan hidup dalam kesederhanaan dan tidak bergaya hidup konsumtif. Tapi anggota DPR bersikap kontras dengan sibuk memamerkan kemewahan, bersikap hedonistik dan rajin membeli mobil mahal. Penyimpangan perilaku membuat kita pantas merefleksikan kembali minimnya teladan pendidikan karakter. Para pemimpin bangsa dinilai masih belum berkarakter karena masih belum memikirkan kepentingan rakyat. Kepentingan bangsa masih dikalahkan kepentingan kelompok yang egosentris.

Mengapa nilai keteladanan penting dalam pendidikan karakter? Sebab seperti diakui mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas) Fasli Jalal bahwa pendidikan karakter adalah bagian utama pendidikan. Namun, akhir-akhir ini pendidikan lebih menitikberatkan pada aspek kognitif dan melupakan aspek akhlak (afektif dan psikomotorik) sebagai pilar utama pendidikan. Oleh karena itu, penting membangun kembali pendidikan akhlak yang diikuti dengan pembangunan pendidikan intelektualitas dan emosional, sehingga terwujud pendidikan yang holistik. Untuk melihat itu semua, peserta didik membutuhkan sosok teladan yang dapat diitiru.

Masa Depan Pendidikan Karakter

Merespons keinginan pendidikan karakter di tengah krisis keteladanan bukan perkara mudah. Hati kecil kita sebagai anak bangsa terus bertanya apa makna strategis pendidikan karakter? Apakah terbatas dinilai sebagai slogan kosong dan konsep “langitan” yang minim keteladanan. Jika itu terjadi, pendidikan karakter tidak akan pernah bisa mengubah kepribadian bangsa Indonesia.

Untuk menciptakan keteladanan, ada baiknya kita meneladani apa yang diajarkan Muhammad SAW. Beliau memberikan teladan bahasa perbuatan lebih bermakna dari perkataan. Wajar jika akhirnya pendidikan karakter ke-Islaman yang dibawanya sukses besar. Tugas kita bersama pula menyadarkan pemimpin bangsa agar tidak menjadikan pendidikan karakterbersifat retoris. Mereka harus mampu menyediakan teladan nyata sehingga dapat menginspirasi gerakan pendidikan karakter lebih luas.

Gagasan pendidikan karakter tentu baik, tapi perlu banyak kritik dalam impelementasi. Untuk itu, kita perlu mengembalikan kembali tujuan fundamental pendidikan karakter sebagai sarana meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu dan seimbang.

Akhirnya, kita harus mulai merenungkan dan berfikir ulang pemaknaan pendidikan karakter. Sebab, karakter tidak diciptakan tanpa adanya proses keteladanan. Itu dapat dimulai dari kalangan terdekat seperti orang tua, guru dan pemimpin bangsa. Ketika para pemberi teladan memberikan contoh buruk, persepsi dan tingkah laku buruk yang tercipta. Misalnya, anak mudah menggugat sebuah kalimat “kejujuran” menjadi wacana retoris. Sebab dirinya tidak menemukan kejujuran kepada orang yang memintanya berbuat jujur.

Inggar Saputra

Mahasiswa Pendidikan Universitas Negeri Jakarta

Peneliti Institute for Reform Sustainable (Insure)