Harga Komoditas Turun, Saham Berbasis Industri Komoditas Ikut Terkoreksi
Harga sejumlah komoditas tambang seperti nikel dan batu bara terkoreksi pada Jumat (5/5/2023). Kondisi ini ikut menarik turun saham-saham berbasis industri komoditas seperti indeks saham barang baku (basic) dan energi yang masing-masing merosot 2,18% dan 1,62%.
Menurut pantauan Investor Daily, sejumlah saham nikel terdampak di antaranya NCKL yang turun 6,96% menjadi Rp 1.270, INCO tergerus 0,36% menjadi Rp 7.000, MBMA anjlok 1,86% jadi Rp 790, hingga MDKA turun 06,96% menjadi Rp 3.610.
Adapun kemarin, harga nikel turun 2,94% menjadi US$ 23.962 per ton sedangkan harga batu bara terkoreksi 5,51% menjadi US$ 171 per ton.
“Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada penutupan perdagangan Jumat juga disebabkan oleh terkoreksinya beberapa harga komoditas. Merosotnya harga batu bara dan nikel karena menurunnya permintaan global akibat kekhawatiran perlambatan ekonomi,” kata Financial Expert Ajaib Sekuritas Chisty Maryani kepada Investor Daily.
IHSG kemarin tercatat koreksi 0,82% dan di tutup di level 6.787. Menurut Chisty, katalis negatif tersebut diproyeksikan merupakan sentimen sesaat, dan bukan merupakan suatu konfirmasi fenomena “Sell in May and Go Away” benar akan terjadi.
“Pasalnya, sentimen dari data ekonomi dalam negeri sejauh ini masih sangat positif,” jelas Chisty.
Senada, Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta menilai, harga nikel global secara teknikal berpeluang naik (uptrend). Sebab, permintaan global dipercaya akan meningkat, sehubungan kebutuhan bahan baku pembuatan baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
Di sisi lain, tertekannya harga nikel menurut dia, saat ini dipengaruhi kelebihan pasokan stainless steel secara global. “Tetapi sebenarnya ketika suplai meningkat, nanti akan tercipta permintaan yang meningkat juga, ditambah kebutuhan teknologi EV secara global, prospeknya positif jangka panjang,” ujar Nafan kepada Investor Daily.
Optimisme ini diyakini terjadi pada saham di bisnis berbasis nikel karena komoditas ini dinilai strategis, sebagai salah satu sumber daya alam yang banyak dimiliki Indonesia.
Nafan melihat, pemerintah terus berkomitmen menjalankan hilirisasi dengan mendorong pengembangan smelter untuk meningkatkan produksi nikel dalam negeri. Mirae Sekuritas Indonesia juga mengapresiasi kebijakan pemerintah yang melarang ekspor nikel mentah.
Dengan begitu, dia tidak menganggap isu pemotongan insentif pajak pada investasi nikel kualitas rendah sebagai dalang merosotnya harga saham nikel. “Pemerintah justru memberi insentif berupa tax holiday kepada perusahaan nikel yang menciptakan ekosistem berbasis EV dalam negeri dan punya nilai tambah sehingga mendorong percepatan hilirisasi,” sambung dia.
Khusus harga saham INCO, menurut analisis teknikal Nafan, trennya masih naik atau sangat bagus dengan target harga Rp 7.600 sehingga layak dipertimbangkan untuk akumulasi.
Sementara, untuk MBMA dan NCKL, Nafan melihat pergerakan sahamnya mengalami bearish consolidation. Sehingga investor disarankan bersikap wait and see sambil menanti net positive price action selanjutnya.
Merespons isu tersebut, Chief Financial Officer Vale Indonesia Bernardus Irmanto mengaku optimistis harga nikel akan kembali naik. Menurut analisis perusahaan, harga nikel dipercaya tidak akan turun di bawah US$ 20.000 per ton berdasarkan kondisi pasar saat ini.
“(penurunan harga saham) wajar karena kebanyakan perusahaan nikel, kinerja keuangannya tergantung dari harga nikel. Kami tidak melihat penurunan harga komoditas menjadi sesuatu yang permanen. Jadi kalau pun turun, kami harap turun sesaat. Bukan trending turun dalam waktu lama, tidak akan seperti itu,” ujar dia menjawab pertanyaan Investor Daily.
Pria yang kerap disapa Anto itu menegaskan, perseroan akan fokus mengoptimalkan produksi dan mengendalikan biaya untuk menjaga keuntungan Vale Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Vale Indonesia Matt Cherevaty menyebut bahwa fundamental industri nikel masih bagus. Sebab, kebutuhan komoditas ini bukan hanya datang dari industri stainles steel yang tradisional namun juga kebutuhan untuk EV.
“Jadi mungkin berdasarkan itu, kami optimistis pada prospek ke depan,” tutup Matt.