HMI dan Revitalisasi Gerakan Mahasiswa Islam

Pasca reformasi, marak organisasi baru yang ragamnya mulai dari partai, lembaga sosial hingga ormas yang bersifat kedaerahan. Situasi ini juga menimpa pada organisasi mahasiswa khususnya yang beorientasi keislaman. Tercatat ada KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) yang berdiri tahun 1998 dan GEMA Pembebasan (Gerakan Mahasiswa Pembebasan) yang hadir di tahun 2005. Kemunculan dua organisasi mahasiswa Islam ini menambah keberadaan organisasi mahasiswa sebelumnya seperti HMI(Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), SEMMI(Serikat Mahasiswa Muslim Indonesia), IMM(Ikatan Mahasiswa Muhamadiyah), dan organisasi mahasiswa Islam lainnya. Secara kasat mata, banyaknya gerakan mahasiswa Islam di Indonesia menunjukkan keberagaman yang ada di negeri tercinta.

Namun bila diteliti lebih lanjut, situasi tersebut justru melemahkan kekuatan umat. Terjadinya friksi antar gerakan mahasiswa di kampus-kampus yang kadang lebih kental nuansa politisnya dibandingkan nuansa ideologis. Bahkan terkadang masing-masing gerakan menafikkan keberadaan gerakan lainnya dan menjelekkan gerakan di luar mereka. Apalagi kebanyakan gerakan mahasiswa Islam di Indonesia membawa bendera rujukan ideologi yang berbeda, seperti PMII (NU), IMM (Muhamadiyah), SEMMI (SI), KAMMI (PKS), dan GEMA Pembebasan (HTI). Kondisi tersebutlah yang terkadang menyulitkan Mahasiswa Islam bergerak bersama dalam mewujudkan aspirasi ummat Islam di Indonesia. Perbedaan orientasi rujukan ideologi inilah yang terkadang menyempitkan arena pemikiran para mahasiswa islam, di mana mereka lebih berkutat mencari celah kesalahan rujukan ideologi yang dimiliki oleh gerakan mahasiswa Islam lainnya.

Praktis hanya HMI yang tak mempunyai rujukan ideologi tetap dalam gerakannya, yang sejak awal berdiri pada tanggal 5 Februari 1947 memang tidak pernah menjadikan organisasi tertentu sebagai pijakan ideologi termasuk dengan Masyumi yang kerapkali disebut sebagai Bapak Ideologis HMI. Sikap indepeden inilah yang membuat HMI tetap tegar meskipun Masyumi dibubarkan oleh Orde Lama. Tidak adanya rujukan ideologi tetap inilah yang menyebabkan hampir semua ideologi masuk dan berpolarisasi di dalam HMI, mulai dari Islam Kiri, Islam Liberal, hingga berbagai rujukan ideologi yang menyebar di kalangan ummat.

Sayangnya, polarisasi Islam Liberal dan Islam Kiri amatlah kuat dalam HMI sehingga amat jarang kita temui anggota HMI yang mencerminkan pribadi insan islami. Namun, kondisi tersebut tidak menggeneralisir bahwa HMI adalah organisasi liberal atau kekirian seperti justifikasi subjektif aktivis gerakan mahasiswa Islam lainnya, terutama yang mengklaim bergerak di bidang dakwah. Hal tersebut dikarenakan dasar pijakan yang digunakan adalah sumber ajaran Islam (Al-Qur’an dan hadits) serta NDP (Nilai Dasar Perjuangan) yang merupakan penjabaran taktis gerakan HMI. Oleh karenanya realita yang terjadi saat ini bukanlah kesalahan HMI melainkan kesalahan presepsi masing-masing pribadi yang menjalankan roda organisasi.

Revitalisasi, Mimpi atau Potensi?

Kondisi HMI yang tak punya rujukan tetap ideologi seperti organisasi mahasiswa Islam lainnya bisa menjadi potensi inisiator HMI dalam merevitalisasi gerakan mahasiswa Islam di Indonesia. Revitalisasi ini bisa dimulai dalam menyamakan presepsi tujuan akhir gerakan mahasiswa Islam. Tujuan tersebut haruslah konkrit dan bukan sekadar hipokrit semata. Gerakan mahasiswa Islam sudah seharusnya bersatu bergerak seirama untuk kepentingan ummat, bukan untuk kepentingan elit pejabat. Selain itu kondisi HMI yang masih terpolarisasi oleh ‘Islam liberal’ maupun ‘Islam kiri’ harus dapat dibenahi oleh kelompok gerakan Islam dari unsur lainnya.

Pembenahan ini merupakan pembenahan internal yang berarti bahwa unsur gerakan Islam berkontribusi dalam menghadang hegemoni pemahaman-pemahaman yang berkembang dalam organisasi ini. Fakta sejarah tentang HMI sebagai anak “ideologis” Masyumi harus dimaknai bahwa HMI berpotensi sebagai pemersatu ummat. Dengan demikian sudah merupakan sebuah kewajiban bagi kita sebagai mahasiswa Islam untuk meneruskan semangat ukhuwah islamiyah dan perjuangan dakwah yang diwariskan 66 Tahun yang lalu.

Revitalisasi Gerakan Mahasiswa Islam tidak akan tercapai bila masing-masing unsur gerakan tetap taqlid dan fanatik buta terhadap rujukan ideologinya. Indepedensi gerakan juga mesti dijaga di mana menyatakan yang benar adalah benar, dan yang salah tetaplah salah. Revitalisasi gerakan mahasiswa Islam harus diawali dengan iktikad dari masing-masing unsur gerakan untuk menggali lebih dalam esensi perjuangan terhadap Ummat, terlepas dari caranya apakah itu melalui penyampaian dakwah, penegakan khilafah dan syariah, maupun penggunaan siyasah (politik) lainnya, sehingga tercapainya masyarakat madani dan rabbani bukan sekadar mimpi.

*Achmad Puariestaufani Nugroho
LAPMI HMI (Dipo) Cabang Depok