Fund Manager Pilih Saham Konsumer dan Properti, Apakah Lebih Menguntungkan?

Manajer Investasi Alihkan Portofolio Investasi ke Saham Konsumer dan Properti

Sejumlah manajer investasi (MI) atau fund manager besar mulai mengalihkan portofolio investasi dari saham-saham nikel dan batu bara ke konsumer serta properti. Alasannya, mereka melihat potensi keuntungan lebih besar di saham konsumer dan properti ketimbang komoditas.

Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta menerangkan, sector rotation tersebut dipengaruhi beberapa hal. Salah satunya adalah permintaan domestik kuat, sehingga mendongkrak penjualan barang konsumsi. Adapun sektor properti diincar berkat berakhirnya era suku bunga tinggi.

“Sementara itu, harga saham berbasis nikel mengalami penurunan, yang dipengaruhi faktor oversupply dan global nickel price yang terdepresiasi,” kata Nafan di Jakarta, belum lama ini.

Pada perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa (16/5/2023), sejumlah saham nikel terkoreksi, seperti PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) sebesar 2,8% menjadi Rp 1.010, PT Vale Indonesia Tbk (INCO) 3,36% menjadi Rp 6.475, PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) 2,52% menjadi Rp 775, hingga induk Merdeka Battery, PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) sebesar 5,86% ke level Rp 3.050.

Di sejumlah saham, penurunan harga bahkan berlanjut alias lebih rendah dari pekan lalu. Adapun dilihat dari pergerakan sektornya, saham yang masuk indeks saham barang baku (basic materials) dan energi ini masing-masing merosot 1,6% dan 1,19% Selasa lalu, serta terkoreksi 13,2% dan 17,37% dari awal tahun.

Simak juga:  IHSG Berbalik Naik, Tiga Saham Ini Lompat hingga ARA!

Harga nikel per 16 Mei 2023 kembali terkoreksi 2,83% menjadi US$ 22.485 per ton, sedangkan harga batu bara turun 0,7% menjadi US$ 164 per ton. Sama seperti pergerakan sahamnya, harga dua komoditas itu melanjutkan posisi pelemahan dari dua pekan lalu yang mencatatkan harga masing-masing US$ 23.962 per ton dan US$ 171 per ton.

Pelemahan harga saham nikel maupun batu bara, menurut Nafan, turut dipengaruhi kekhawatiran perlambatan pertumbuhan ekonomi di Tiongkok. Hal ini sehubungan terjadinya deflasi di negara tersebut.

“Kinerja manufaktur di Negeri Tirai Bambu juga turun dari fase ekspansi ke kontraksi, berdasarkan data per April 2023,” tambah dia.

Dia memandang, harga nikel global secara teknikal berpeluang naik (uptrend). Sebab, permintaan global dipercaya akan meningkat, sehubungan kebutuhan bahan baku pembuatan baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV). Dengan begitu, prospek perusahaan berbasis nikel bisa menimbulkan rotasi balik, mengundang kembali fund manager untuk masuk ke sektor ini.

Saham di bisnis berbasis nikel pun diyakini prospektif karena komoditas ini dinilai strategis, sebagai salah satu sumber daya alam yang banyak dimiliki Indonesia. Apalagi, pemerintah terus berkomitmen menjalankan hilirisasi dengan mendorong pengembangan smelter untuk meningkatkan produksi nikel dalam negeri.

Secara teknikal, saham INCO, menurut Nafan, trennya masih naik dengan target harga Rp 7.600, sehingga layak dipertimbangkan untuk diakumulasi. Sementara itu, untuk MBMA dan NCKL, pergerakan sahamnya mengalami bearish consolidation, sehingga investor disarankan bersikap wait and see sambil menanti net positive price action selanjutnya.

Simak juga:  Target Harga Saham BSI (BRIS) Tetap Menarik Meski Layanan Pernah Bermasalah

Senada, CEO Edvisor.id Praska Putrantyo mengatakan, koreksi saham-saham berbasis komoditas nikel disebabkan merosotnya harga komoditas ini di pasar internasional. Sentimen negatif lainnya, lanjut dia, datang dari kelesuan ekonomi Tiongkok, yang ditandai dengan melambatnya laju inflasi serta perlambatan ekspor dan impor negara itu, kekhawatiran perlambatan ekonomi di era bunga tinggi, serta peningkatan surplus nikel secara global terbesar dalam satu dekade terakhir.

“Sebab, terjadi peningkatan produksi nikel di Indonesia hampir 50% tahun 2022,” kata dia.

Ikuti Update Berita Terkini Sekilasinfo.net di : Google News