Berhimpun tanpa berpikir di HMI

Bukan bermaksud untuk melakukan sinisme dan membuat suasana pesimis di tengah kondisi yang memang membuat mahasiswa saat ini enggan berhimpun di HMI. Saat ini HMI sudah menjadi barang antik, mungkin disamakan dengan VW Combi tahun 1970-an. Besar, muat banyak orang, tapi susah bergerak, kadang macet di tengah jalan. Tenang saja, VW Combi punya banyak penggemar, saat reunian dari sabang sampai merauke semua penggemar datang, membawa keluarga, semua bahagia. Soal reunian HMI pun memiliki kesamaan dengan mobil tua. Akrab, akur, tidak membahas politik atau kondisi ekonomi yang terlalu bertele-tele itu. Malah yang dibahas soal siapa yang meninggal duluan dan akan dipesankan makan mewah di San Diego Hills. Seakan semua sudah lewat, maka HMI hari ini pun bisa dikatakan hampir lewat dari zamannya. Terasing, tapi eksotis. Sexy.

HMI memang terkenal akan jago klaim-nya, dan ini masih bertahan tetap hingga sekarang. Misalnya ada kader yang menang lomba baca puisi, efek klaim muncul dari sini, lalu membuat publikasi seadanya, status di sosial media, salah satu kader HMI juara. Seakan-akan kader lainnya pun tidak kalah kapasitasnya dengan satu kader itu.

Berikutnya masalah serius selain tukang klaim adalah minim pemikirian. Minat baca bukannya berkurang tapi dialihkan ke buku-buku lainnya seperti Komik, roman picisan tentang cinta-cintaan murahan yang beredar di toko buku macam Gramedia. Kita sebut itu teenlit. Bukannya kader tidak berpikir, namun jenuh terhadap buku-buku yang biasa dibaca di kampus, ruang kuliah nan membosankan itu. Adakah yang tahu Ahmad Wahib? liat cover buku nya saja mungkin belum. Atau wacana revolusi sistemik? oh maaf, revolusi sudah tabu di lingkungan komisariat HMI. Semua serba pop karena zaman berubah. Pikiran juga jadi ter-pop kan. Hampir tidak ada wacana besar yang tumbuh dari kampus.

HMI sebenarnya dari kelemahan-kelemahan yang jarang diakui itu punya kelebihan dibandingkan organisasi lainnya. Bukan jaringan alumni yang dibangga-banggakan (sudah bosan mendengar kata Alumni), tapi solidaritas yang bisa jadi jalan menuju sukses.

Di Harvard ada Kappa Tau Gamma, Gamma Tau Beta, Adam House dan Jewish Freternity. Dikira mereka membaca buku kemudian berdebat hingga malam. Alih-alih, tokoh hebat yang dilahirkan dari perkumpulan itu justru sering mabuk, membuat kerusuhan di malam hari, mengajak lawan jenis untuk masuk ke dalam asrama, pesta ganja dan melakukan hal-hal hebat lainnya. Mahasiswa baru (freshman) bisa masuk ke dalam perkumpulan elit karena, kesamaan agama, ras, atau dipilih ke dalam asrama berdasarkan sistem acak. Adam House misalnya punya tradisi yang sedikit menarik, terdiri dari juara olimpiade fisika berbakat di seluruh Amerika. Gamma Tau Beta dan Jewish Freternity, keturunan Yahudi yang biasa-biasa saja. Mereka menghabiskan waktu kurang lebih selama 4 tahun di jenjang sarjana.

Hal yang luar biasa, ketika mereka lulus, mereka berdiaspora ke seluruh penjuru Amerika bahkan dunia. Masuk ke dalam laboratorium yang dijaga ketat NATO, masuk ke sarang intelejen negara macam CIA, jadi staff ahli Kementerian Perdagangan, The FED atau sekedar menjadi broker di Wall Street. Sampai 10 tahun kemudian tidak ada yang menonjol, namun setelah mereka menduduki posisi puncak dan memiliki pengaruh mereka akan melakukan perubahan besar. Tanpa konsep, hanya solidaritas. Bagaimana cara mereka merubah tatanan keuangan dunia, membuat kejatuhan pasar saham tahun 2008? kebangkrutan pemerintah eropa karena hutang tahun 2010? Rahasia mereka hanya satu, koneksi antar mantan anggota perkumpulan. Pertemuan rutin dilakukan setiap minggu, dilapangan golf, di pesta dansa, atau sekedar berkunjung ke pernikahan anak-anak mereka. Semua berada di bawah kesadaran psikologi.

Freud bisa berbicara dalam hal ini, ketika id yang terbentuk saat mahasiswa (keliaran, kebebasan, ganja, pesta) membentuk super ego (kebersamaan, aturan sosial, solidaritas) yang akan memberikan anak-anak mahasiswa itu tujuan hidup. Jadi perkumpulan bukan melulu satu tujuan seperti yang dilihat di dalam khittah perjuangan, tapi sebuah proses untuk mencari tujuan yang baru. Tujuan untuk dewasa, untuk melakukan perubahan jangka panjang. Ketika super ego yang diajukan Sigmund Freud itu terbentuk dalam kaitannya dengan solidaritas sosial, maka secara otomatis dibawah sadar, kebijakan yang dilakukan oleh alumni perkumpulan itu akan berpengaruh secara simultan ke dalam seluruh aspek masyarakat.

Pierre Bordieu juga menambahkan bahwa, pergerakan intelektual yang bersambung dalam tali solidaritas akan menggerakan peradaban tanpa adanya statemen khusus yang ditulis serta di tanda-tangani. Bagaimana Baader Meinhoff bisa melakukan pengeboman kedutaan-kedutaan besar Amerika Serikat di Jerman Barat hanya dengan jaringan intelektual yang cair, semua orang tidak direkrut secara paksa, namun dengan kesadaran. Jika ia bosan dengan perkumpulan itu ia bisa keluar, tanpa ikatan dengan kebebasan. Dengan cara itu solidaritas akan terbentuk.

Di HMI, solidaritas yang membentuk tujuan jangka panjang dibentuk melalui proses yang panjang, berbagai indomie yang dimasak bersama, berbagai rokok, berbagi ilmu secara santai, dan proses solidaritas komunal lainnya lebih penting daripada diskusi yang dijadwalkan, film yang diarahkan untuk berpikir, atau membahas isu secara spesifik. HMI memang sulit untuk diselamatkan, tapi secara kultural HMI bisa membuat kumpulan super ego yang masif dan bertahan hingga waktu yang tidak ditentukan.

Ikhwanul Rausyan Fiqr